Saturday, 30 August 2014

Ajaran dan Doktrin Sang Reformator

Ajaran dan Doktrin Sang Reformator
A.       Pengantar
Martin Luther (1483-1546) adalah tokoh Reformasi Protestantisme yang ajaran dan doktrinnya memiliki dampak besar bagi Gereja Katolik. Melalui gerakan Reformasi Protestantisme, Luther berkehendak untuk membentuk kembali (Lat. Reformare) keadaan Gereja Katolik yang telah mengalami kemerosotan, agar menjadi lebih baik menurut bentuk yang semestinya. Beberapa ajaran dan doktrin yang dikemukakan Luther menjadi semacam gempuran besar terhadap Gereja Katolik, yang kemudian harus ditandingi dengan pembaruan internal melalui Konsili Trento.[1]
Ajaran dan doktrin teologis Luther banyak dipengaruhi oleh pemikiran Agustinus. Hal ini tampak jelas dari 95 dalil yang ia keluarkan untuk menentang Gereja Katolik berkaitan dengan komersialisasi surat penghapusan dosa. Agustinus melawan pelagianisme, yakni bidaah yang mengajarkan pahan rahmat di mana manusia dapat memperoleh keselamatan lewat ketekunan usahanya sendiri.[2] Begitu pula dengan Luther yang menentang pandangan tersebut dengan dilandasi oleh pengalaman pribadinya sendiri, yaitu rasa frustrasi secara psikologis akan pencarian keselamatan Allah yang tidak mampu ia peroleh.
 Dalam konteks Sejarah Gereja, doktrin-doktrin dan ajaran Luther ini tidak dapat dipandang sebelah mata. De facto, doktrin dan ajaran tersebut telah memberikan dampak yang besar bagi Gereja Katolik dan mengundang banyak diskusi serta perdebatan teologis yang sengit antara pendukung Luther dan Gereja Katolik sejak pertama kali dikeluarkan.[3] Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini secara khusus hendak membahas garis besar ajaran dan doktrin Sang Reformator, yakni Martin Luther dalam usahanya memperbarui Gereja.
B.        Pokok-Pokok Ajaran dan Doktrin Martin Luther
Ada 3 hal yang secara substansial menjadi doktrin teologis Martin Luther dalam usahanya memperbarui Gereja, antara lain: 1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal atas manusia melalui sola fide. 2) Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran. 3) Ajaran tentang imamat umum dalam hubungannya dengan kuasa untuk menafsirkan Alkitab. Sementara itu, semua proposisi teologis lainnya merupakan akibat dari prinsip-prinsip tersebut, misalnya: ajaran tentang yustifikasi, predestinasi[4], kembali ke Alkitab, Sakramen, Gereja, pemikiran politik reformasi dan pengaruh pemikiran reformasi atas sejarah.[5] Selanjutnya, akan dibahas beberapa penjabaran atas substansi doktriner tersebut di atas.

1.      Sola Fide (Hanya Iman)
Doktrin tradisional Gereja mengatakan bahwa manusia diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Hal itu berarti imam menjadi nyata sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam karya-karya. Dengan tegas, Luther menanggapi doktrin tradisional tersebut dengan cara menentang nilai karya manusia dan hanya membenarkan nilai iman.
Perlawanan Luther juga dilatarbelakangi oleh rasa frustasi secara psikologis yang mendalam yang ia rasakan karena berpikir bahwa ia tidak mampu memperoleh keselamatan kekal dengan usaha dan karya manusiawinya sendiri. Ia mengalami sendiri suasana batin bahwa ia tetap berdosa meskipun telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik dan saleh. Meskipun telah berpuasa, menjalani hidup mati raga, berziarah dan menerima sakramen, Luther tetap merasa jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Kemudian, ia berkeyakinan bahwa kegagalan terus menerus untuk hidup baik tersebut menunjukkan rusaknya kodrat manusia pada akarnya. Manusia itu sedemikian rusak kodratnya, sehingga usaha apapun yang dilakukan untuk hidup baik tidak akan berhasil.[6]
Selanjutnya, rasa frustrasi tersebut membawanya pada sebuah solusi, yakni hanya dengan beriman pada Allah saja, keselamatan dapat diperoleh. Baginya, imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut kekhawatiran hidup insan beriman. Motivasi konseptual doktrin Luther adalah Allah menciptakan manusia “dari ketiadaan”. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu melakukan hal baik yang dinilai di hadirat Allah. Luther juga berpendapat bahwa Iustitia Dei (keadilan Allah) semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Keadilan ini tanpa menuntut jasa dan hak manusia. Manusia mendapatkan keadilan Allah bukan karena karya-karyanya, melainkan karena kepastian akan keselamatan yang dilakukan oleh Allah. Jadi, semakin ditegaskan bahwa karya insani manusia tidak dapat menyelamatkan manusia.[7]

2.      Sola Scriptura (Hanya Alkitab)
Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja karena berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan, termasuk tradisi kristiani sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang tidak dapat dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan hubungan antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka. Dengan demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang dipancarkan Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther mengganti struktur hierarki Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan fungsi imamat semua orang beriman dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian, hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel (tidak dapat sesat).
Bagi Luther, peran para hierarki Gereja Katolik justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab secara benar, Maka dari itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman, karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang, kecuali para klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang tepat mengenai yustifikasi iman dengan tujuan untuk memberi dasar yang kokoh pada ajaran dan doktrinnya.[8]

3.      Sola Gratia (Hanya Rahmat)
Dalam imannya, manusia sudah dapat merasa dibenarkan oleh Allah karena rahmat-Nya semata-mata. Berkenaan dengan cara berpikir ajaran tersebut, selanjutnya tidak dibutuhkan lagi perantara manusia dengan Allah, misalnya: peran dan fungsi imam yang menuntut ajaran Gereja Katolik supaya dapat menyalurkan rahmat pengampunan dosa dari Allah kepada manusia. Luther yakin bahwa setiap individu beriman berhadapan langsung dengan Allah sendiri dan secara pribadi bertanggungjawab kepada-Nya.[9]
Pada akhir abad pertengahan sampai awal zaman renaissance, peran dan kredibilitas para klerus semakin menurun. Kesucian Gereja Katolik ternoda oleh kebobrokan yang dilakukan oleh para klerus pada waktu itu, terutama praktek komersialisasi indulgensi. Itulah yang mendorong Luther menolak Gereja yang hierarkis seperti yang diperlihatkan oleh Gereja Katolik Roma.
 Perlawanan Luther ditunjukkan melalui pemasangan surat pernyataan sikapnya yang berisi 95 dalil di pintu masuk Gereja biara di kota Wittenberg, Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktek Gereja Katolik yang memperdagangkan surat pengampunan dosa dengan tujuan untuk mendapatkan uang bagi pembangunan berbagai proyek gerejawi, misalnya: pembangunan gereja-gereja megah, termasuk Gereja Basilika St. Petrus di Vatikan. Situasi yang terjadi pada waktu itu ialah banyak orang sederhana percaya bahwa dengan membeli surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan karena dosa-dosa mereka telah terampuni. Hal itu berarti keselamatan manusia merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri dan bukan lantaran rahmat Allah.[10]
Kekecewaan Luther terhadap para klerus tersebut menjadi dasar pemikirannya bahwa manusia beriman tidak membutuhkan mediasi insani. Kebebasan umat beriman yang adalah anak-anak Allah telah memungkinkan Allah untuk berhubungan secara langsung dengan mereka. Hal itu melandasi pemikiran Luther lainnya, yakni penolakkan terhadap Ekaristi sebagai sebuah kurban. Kurban salib Kristus hanya terjadi sekali, yakni di puncak Kalvari dan setelah itu tidak terulang lagi. Kemudian, Luther mereduksi jumlah sakramen dari 7 menjadi 2, yakni sakramen Babtis dan Ekaristi. Berkaitan dengan sakramen, ia mendevaluasi pemahaman tradisional tentang sakramen dengan mengurangi tanda-tanda lahiriah dari rahmat sakramentali, iman dan kebebasan yang sungguh kuat tentang kultus.[11]

C.       Kesimpulan dan Refleksi
Secara ringkas, ajaran dan doktrin pokok Luther adalah sebagai berikut: sola fide atau pembenaran oleh iman saja dan tidak oleh karya-karya manusia yang baik sekalipun; sola scriptura atau hanya Alkitab dan bukan tradisi manusiawi yang merupakan norma iman yang mempunyai wibawa; dan sola gratia atau pembenaran oleh rahmat Allah saja.[12] Beberapa ajaran lainnya merupakan konsekuensi dari ketiga doktrin teologis tersebut. Seluruh ajaran dan doktrin Luther merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi aktual Gereja Katolik waktu itu yang sedang kacau.
Bagi Gereja Katolik, munculnya ajaran dan doktrin Luther ini sepatutnya dijadikan bahan refleksi. Kita tahu bahwa sejak kemunculan ajaran dan doktrin Luther, Gereja bersikap tegas untuk melawannya. Akan tetapi, secara rasional, apa yang diajarkan Luther memiliki unsur kebenaran. Kita bahkan tidak bisa mengelak dari kenyataan kebobrokan Gereja Katolik pada waktu itu. Oleh sebab itu, kiranya baik jika peristiwa Reformasi Protestantisme yang juga disertai dengan kemunculan ajaran dan doktrin Luther ini, kita jadikan bahan untuk bersikap self-critic. Terhadap masa lalu, kita belajar dan berusaha mensyukurinya. Sementara itu, terhadap masa depan, kita juga harus bersikap terbuka akan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan. Dengan demikian, kita dapat terus berkarya sebagai umat Allah dalam satu persekutuan besar Gereja Katolik.  



Daftar Pustaka
Kristiyanto, Eddy. Reformnasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

--------------------- . Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

--------------------- . Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Lanur, Alex. “Sejarah Filsafat Abad Pertengahan”. Paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Filsafat Abad Pertengahan di STF Driyarkara Jakarta tanggal 5 Februari 2014.

Lili Tjahjadi, Simon. “Reformasi Protestan.” Paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta pada tanggal 10 Februari 2014.

McGrath, Alister E. Iustitia Dei. Cambridge University Press, 1986.

Suharyo, Ignatius. Penj., Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme.” Yogyakarta: Kanisius, 1996. Diterjemahkan dari O’Collins, Gerald dan Farrugia, Edward G. A Concise Dictionary of Theology. New Jersey: Paulist Press, 1991.



[1] Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 90. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, “Reformasi Protestantisme,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta, pada tanggal 10 Februari 2014, 1).
[2] Eddy Kristiyanto, Selilit Sang Nabi, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 118. Bdk. Alex Lanur, “Filsafat Abad Pertengahan,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah Filsafat Abad Pertengahan tanggal 5 Februari 2014, 7).
[3] Simon Lili Tjahjadi, 7.
[4]Alister E McGrath, Iustitia Dei, (Cambridge-New York: Cambridge University Press, 1986), 129. “… God predestined some to eternal life and others to damnation, or the related conclusion that Christ died only for the elect.”
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 54.
[6] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 54-55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[7] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[8]  Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 56-57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 6.
[9]  Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[10] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5-6.
[11] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57-58.
[12] Bdk. Ignatius Suharyo, penj., Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme,” (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 182. Diterjemahkan dari Gerald O’Collins dan Edward G Farrugia, A Concise Dictionary of Theology, (New Jersey: Paulist Press, 1991).

Tuesday, 7 January 2014

Peran Gereja Katolik dalam Menghadapi Persoalan Pluralisme di Indonesia

PERAN GEREJA KATOLIK
DALAM MENGHADAPI PERSOALAN PLURALISME
DI INDONESIA

A.        Pendahuluan
Gereja Katolik di Indonesia yang hanya berjumlah kecil dibandingkan seluruh warga negara harus mampu menghadapi persoalan negara yang semakin rumit, terutama persoalan pluralisme. Indonesia merupakan sebuah negara yang plural dan di dalamnya terdapat berbagai macam suku, budaya dan agama. Keaneka-ragaman tersebut seharusnya merupakan kekayaan bangsa di mana masyarakat yang hidup di dalamnya dapat saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, pluraritas bangsa ini justru sering menimbulkan berbagai macam persoalan dan konflik.
Persoalan dan konflik itu dapat dilihat dari berbagai macam kasus kekerasan dengan mengatas-namakan agama yang sampai sejauh ini terjadi.[1] Misalnya: Kasus perusakan gedung Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik di Temanggung pada tahun 2011[2] dan penolakan terhadap Susan Jasmine seorang lurah Lenteng Agung, Jakarta yang beragama Kristen Protestan oleh Front Pembela Islam (FPI)[3]. Seandainya beberapa persoalan itu muncul hanya disebabkan oleh masalah agama, hal ini jelas sangat disayangkan karena dapat mempengaruhi stabilitas dan integritas nasional.
Dalam ajaran Teologi Gereja menurut Konsili Vatikan II, Gereja Katolik diharapkan mampu terlibat dalam mengatasi tantangan zaman dewasa ini seperti fundamentalisme segala asal-usul, primordialisme, kesempitan doktriner dan ideologis.[4] Secara khusus dalam konteks negara Indonesia adalah persoalan pluralisme. Tulisan ini hendak memaparkan persoalan pluralisme secara umum yang terjadi di Indonesia dan juga peran Gereja Katolik yang terdiri dari hierarki dan awam dalam menghadapi persoalan pluralisme di Indonesia.
B.        Persoalan Pluralisme di Indonesia
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk.[5] Hal ini sering bersangkutan dengan sistem sosial dan politik. Selain bersangkutan dengan sistem sosial dan politik, pluralisme dapat dilihat pula dari segi keaneka-ragaman suku, ras, agama dan budaya. Seluruh umat manusia di dunia diciptakan beraneka-ragam. Dalam keaneka-ragaman tersebut, mereka berusaha membangun relasi sosial dengan sesamanya.
Dalam keadaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, sering kali terjadi persoalan konflik antarkelompok yang dipicu oleh masalah suku, budaya atau ekonomi. Tentu saja masih teringat jelas kasus tragedi Sampit pada tahun 2001 yang melibatkan suku Madura dengan suku Dayak. Barangkali semua itu disebabkan oleh ketidakdewasaan masyarakat Indonesia dalam berpikir. Bertitik-tolak dari tragedi Sampit, kita dapat menarik benang merah bahwa akal sehat sudah tidak mampu lagi dimiliki oleh masyarakat yang telah dibutakan oleh pandangan sempit pluralisme.
Persoalan pluralisme sosial semacam itu sangat mempengaruhi stabilitas dan integritas nasional[6]. Dahulu, para pahlawan berjuang dengan keras tanpa memandang perbedaan karena mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Semangat juang pasukan gerilya Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur melawan Belanda sekitar tahun 1825-1830 sama dengan semangat Kapitan Pattimura sekitar tahun 1817 di Saparua melawan Belanda. Tidak ada tembok-tembok pemisahan suku, agama maupun budaya yang menjadi penghambat dalam perjuangan mereka. Akan tetapi, saat ini dalam konteks negara Indonesia yang merdeka, justru kita sendiri yang berperang satu-sama lain. Tentu saja, situasi semacam ini jauh dari apa yang dinamakan stabilitas dan integritas nasional.
Agama merupakan salah salah satu faktor yang sering dijadikan kambing hitam terhadap adanya konflik antarkelompok. Para pemeluk agama tertentu bahkan sering membentuk semacam kelompok radikal untuk membela agamanya dengan cara apapun, bahkan jika perlu menghancurkan agama lain. Sebagai contoh, kita bisa melihat kasus penganiayaan penganut Ahmadiyah dan Syiah[7]. Adanya kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut seolah-olah menghilangkan nilai keluhuran sebuah ajaran kebaikan dari setiap agama.
C.        Peran Gereja Katolik dalam Menghadapi Persoalan Pluralisme di Indonesia[8]
Di tengah-tengah masyarakat yang plural dan penuh dengan aneka macam persoalan pluralisme tersebut, Gereja hidup dan berkarya. Yang dimaksud dengan Gereja ialah mereka yang berkehendak untuk menjiwai Roh Yesus yang menguduskan dunia, yakni para hierarki (Imam tertahbis) dan awam.
Dalam rangka menggerakkan peran Gereja dalam mengatasi keadaan chaos negara Indonesia ini menjadi keadaan cosmos, dibutuhkan kerja sama yang baik antara hierarki dan awam Katolik.[9] Pihak hierarki sebagai pemimpin Gereja diharapkan mampu merangkul para awam Katolik. Selain itu, para awam juga saling menyumbangkan ide dan keahlian mereka untuk membantu Gereja dalam upaya menjadi garam dan terang bagi negara Indonesia. Adanya sinergi yang baik antara hierarki dan awam akan memperkuat Gereja dalam mengembangkan misinya di Indonesia yang dijiwai oleh Roh Yesus.

            1. Peran Hierarki
            Di Indonesia, peran hierarki dalam menghadapi pluralisme umumnya masih dalam taraf pikiran. Sebagain besar dari para pastor di sejumlah paroki dan keuskupan selalu memiliki gagasan yang baik dalam rangka menyumbangkan sesuatu bagi bangsa dan negara. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka lebih sering menutup diri di dalam lingkungan Gereja saja. Dengan kata lain, ada rasa enggan untuk keluar dari zona nyaman dengan cara menjalin relasi dengan masyarakat sekitar yang berbeda agama, para aparat pemerintahan dan lain-lain.
            Cara paling efektif yang dapat dilakukan oleh para hierarki dalam menghadapi persoalan pluralisme ialah dengan terjun langsung dengan masyarakat, juga dengan para aparat pemerintahan. Bagaimana mungkin identitas Gereja yang diwakili oleh para hierarki dapat di kenal oleh masyarakat, jika para hierarki enggan untuk membaur. Akibat buruknya ialah Gereja tidak akan mampu menyebarkan ajaran iman kepada masyarakat dan bersaksi di tengah-tengah mereka, jikalau keberadaan mereka saja masih berjarak dengan masyarakat.
            Oleh sebab itu, hendaknya para hierarki terutama mereka yang bekerja di paroki-paroki mencoba membuka diri, bergaul, berdiskusi dan bekerjasama dengan masyarakat sekitar tempat tinggal dan tidak mengambil jarak dengan mereka.  Itu baru sebuah langkah awal untuk terjun secara utuh ke dalam lingkup negara. Setelah mampu untuk membaur dan berelasi dengan baik, barulah sedikit demi sedikit memberikan pengaruh yang baik bagi negara Indonesia. 
           
            2. Peran Awam         
            Konsili Vatikan II menegaskan bahwa pada masa kini, peran kaum awam harus lebih diutamakan, karena jumlah mereka jauh lebih besar daripada jumlah para hierarki di dalam Gereja Katolik. Gereja bukan pertama-tama hierarki; para uskup dan pastor, melainkan seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Oleh sebab itulah, perutusan Gereja untuk menjadi saksi Kristus juga menjadi perutusan para awam. Dengan kata lain, para awam dipanggil untuk menyampaikan cinta kasih dan keadilan Allah kepada masyarakat pada umumnya.
            Dalam konteks zaman yang seperti sekarang ini, sangatlah mustahil jika para hierarki berjuang sendiri dalam menghadapi persoalan yang tidak mudah ini, yakni pluralisme. Maka dari itu, partisipasi para awam sangat dibutuhkan untuk mendukung karya Kristus di dunia melalui Gereja Katolik ini. Ini bukan perkara mudah tetapi tidak mustahil untuk dilakukan, karena para awam Katolik di Indonesia memiliki potensi yang dapat disumbangkan untuk kebaikan negara.
Sebagian besar dari kaum awam bahkan adalah para cendikiawan di mana mereka mempunyai keahlian tertentu dalam bidangnya masing-masing. Dalam konteks zaman ini, Gereja Katolik sangat kaya akan jumlah cendikiawan awam Katolik. Akan tetapi, dengan keahlian-keahlian tersebut, mereka justru sering jatuh dalam perselisihan, persaingan dan keinginan untuk dianggap paling hebat. Akibatnya mereka akan bekerja sendiri-sendiri. Sangat disayangkan, jikalau mereka justru lebih mementingkan diri sendiri dan berselisih satu sama lain. Akan menjadi lebih baik dan bijaksana jika mereka turut serta menyumbangkan keahlian-keahlian mereka itu kepada negara.
Maka, harus ada kesadaran diri para awam bahwa mereka adalah rasul-rasul yang diutus untuk mewartakan Injil kepada segala makhluk di manapun. Kesadaran itu hendaknya juga mendorong sesama awam untuk bersinergi satu sama lain dalam wadah Gereja demi negara Indonesia.

D.        Penutup
Gereja berkarya bukan hanya dalam rangka menyelamatkan umat Katolik dan acuh tak acuh terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya. Ajaran Konsili Vatikan II menyebutkan daya penyelamatan Allah di dunia diperuntukkan bagi semua orang. Gereja Katolik di Indonesia hanyalah sebagaian kecil dari seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dengan menghayati ajaran Konsili Vatikan II dan menyadari eksistensi kita di dunia ini ialah diutus menjadi rasul-rasul Kristus di dunia, hendaknya dalam jumlah yang kecil ini, kita memberikan pengaruh yang besar terhadap bangsa dan negara yakni menghadapi persoalan pluralisme.

Daftar Pustaka
A’la, Abd. “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama.” In Melalui Dialog Agama, edited by Qamaruddin SF, 27-34. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Pustaka, 2000.

Siwi, Antonius. “Peran Hierarki dan Awam Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di Indonesia.” Paper presented at the Class Presentation, Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia, July 25, 2012.

Sumardjo, Jacob. “Mandala Gereja di Tanah Sunda.” In Iman, Ilmu dan Budaya, edited by  Felly Kama, dkk., 33-39. Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001.

Suseno, Magnis. “Cendikiawan Katolik dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk.” In Iman, Ilmu dan Budaya edited by Felly Kama, dkk, 110-116. Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001.

Sumber-Sumber Lain
Belarminus, Robertus. “FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013.” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.35 WIB)

Ihsanuddin, “Penganut Syiah: Jika Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013.” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh. (diakses tanggal 15 November 2013, pukul 17.35 WIB)

Rukmorini, Regina. “Tiga Gereja Dirusak Massa, 2011.” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150 (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.30 WIB)





[1]Abd A’la, “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama,” in Melampaui Dialog Agama, ed.  Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 33-40.
[2] Regina Rukmorini, “Tiga Gereja Dirusak Massa, 2011,” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150
[3] Robertus Belarminus, “FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013,” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati
[4] Magnis Suseno, “Cendikiawan Katolik dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk” in  Iman, Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama, dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 110-116.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta:  Balai Pustaka, 2000), 883.
[6] Abd A’la, “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama” in Melampaui Dialog Agama, ed. Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 27-34.
[7]Ihsanuddin, “Penganut Syiah: Jika Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013,” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh.
[8] Antonius Siwi, “Peran Hierarki dan Awam Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di Indonesia,” (paper presented at the Class Presentation, Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia, July 25, 2012).
[9] Jacob Sumardjo, “Mandala Gereja di Tanah Sunda” in  Iman, Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama, dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 33-39. 

Abad Pertengahan

Abad Pertengahan[1]

A.            Awal Abad Pertengahan (476-1054)
Istilah awal abad pertengahan dipakai untuk menempatkan kurun waktu antara 476-1054 pada waktu terjadi perpecahan Gereja antara Gereja Barat[2] dan Gereja Timur[3]. Hal ini mengakibatkan bangkitnya penguasa-penguasa di wilayah “bekas” kekaisaran Roma. Adanya serangan dari kelompok Barbar membuat kekaisaran Roma runtuh. Begitu juga dengan beberapa kelompok bangsa dari Jerman yang masuk ke wilayah kekaisaran Roma akhirnya menempati daerah tersendiri seperti bangsa Vandal yang menyusup ke Spanyol dan bangsa Visigoth yang mendirikan ibukota di Toledo. Kedua kelompok tersebut ialah penganut setia arianisme dan beberapa raja mereka menganiaya orang-orang Katolik maupun Ortodoks.
Sementara itu, orang-orang Inggris dan Saxonia mendiami kepulauan Inggris Raya yang dipengaruhi oleh budaya dan politik Romawi. Dengan demikian, Italia diserang oleh beberapa bangsa dari Jerman. Hal itu memaksa Kaisar Romulus Agustus turun tahta dan digantikan oleh Raja Odoakre Heruli tahun 476. Akan tetapi, tidak lama kemudian Odoakre ditaklukkan oleh Ostrogoth yang juga penganut arianisme. Di kemudian hari, bangsa Bisantin berhasil menaklukkan Ostrogoth dan mengambil alih kekuasaan. Akan tetapi, bangsa Bisantin kembali mendapat perlawanan dari penganut arianisme lainnya yakni bangsa Lombardia. Serangan bertubi-tubi tersebut memaksa kepausan bersekutu dengan bangsa Frank.
Pada tahun 529, seorang tokoh monastikisme barat awal, Benediktus dari Nursia, mendirikan Monte Casino dan membentuk regula yang kemudian mempengaruhi monastikisme barat selama berabad-abad. Pengaruh monastikisme tersebut menjalar sampai ke Eropa Barat. Selanjutnya, antara Gereja Katolik dan Ortodoks muncul diskusi mengenai kepausan yang juga menyangkut gelar “Paus”. Kata “Paus” merupakan istilah yang dimaksudkan untuk memberi penghormatan dan rasa terima kasih, yang sebelumnya diterapkan kepada setiap uskup yang menerima penghormatan khusus. Selama periode tersebut, kepausan menjadi tidak stabil dan banyak diperoleh kekuasaan dan prestise.
Beberapa Paus ikut intervensi dalam kontroversi-kontroversi tersebut, misalnya Paus Leo Agung dan Gregorius Agung. Akan tetapi, Paus-paus pengganti Gregorius lebih memilih politik konfrontatif terhadap pihak Lombardia dan kaisar-kaisar Kristen di Konstantinopel. Hal ini membuat relasi antara kepausan dan kekaisaran semakin erat. Akan tetapi, secara perlahan kepausan mengalami kemerosotan, terutama setelah muncul ajang perebutan kekuasaan dan konflik ambisi antar keluarga Romawi yang berpengaruh. Ditambah lagi, di bagian timur, negara lebih berkuasa daripada Gereja dan sering memaksakan kehendaknya pada Gereja. Selain itu, muncul juga doktrin kristologis yang menjadi kontroversi teologis, yakni hal-hal yang berkaitan dengan masalah bagaimana Putera Allah yang telah menjadi manusia dapat menjadi ilahi dan insane. Kontroversi doktriner lainnya ialah ikonoklasme.[4]
Dampak dari kontroversi-kontroversi tersebut ialah munculnya Gereja yang memberontak dan mandiri yang juga disebut Nestorian dan Monofisit. Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok yang menolak konsili Ekumenis. Pada pertengahan kurun waktu awal abad pertengahan, Islam muncul sebagai kekutan baru. Selain itu, terjadi pula konflik internal di dalam Gereja yang menambah kekacauan. Akibatnya, kekaisaran Bisantin sedikit demi sedikit kehilangan pengaruhnya. Setelah itu, relasi antara Gereja Barat dan Timur semakin tegang sampai terjadi pemutusan hubungan tahun 1054 yang juga disebut skisma timur. Sebab langsung perpecahan itu ialah kata Filioque yang ditambahkan dalam syahadat Nikaia-Konstantinopel oleh Gereja Barat.

B.                 Puncak Abad Pertengahan (1054-1303)
Setelah Gereja mengalami perpecahan atau skisma antara Gereja Barat dan Timur, dalam kurun waktu 1054-1303, Gereja Katolik Roma mengukir masa keemasan. Inilah masa puncak abad pertengahan. Pada awalnya, Gereja Barat merasa membutuhkan sebuah reformasi untuk memperbaiki moral Gereja yang sebelumnya mengecewakan dan kacau. Reformasi tersebut dimulai oleh jajaran monastik dengan didirikannya pertapaan Cluny tahun 909, lalu muncul pertapaan Cistersiensis yang menghadirkan tokoh Bernardus Clairvaux tahun 1090-1153.
Kemudian Paus Leo IX menerapkan reformasi yang sudah dimulai oleh kaum monastik. Gerakan reformasi tersebut memuncak pada masa Paus Gregorius VII yang menerbitkan Dicdatus Papae di mana terdapat 27 dalil tentang wewenang supremasi kepausan atas kekaisaran. Paus Gregorius VII juga mendesak supaya para imam hidup selibat dan mengecam simonia[5]. Hal ini memicu pemberontakan di berbagai daerah antara otoritas sekuler dan Gereja. Konflik tersebut disebut sebagai konflik investitur. Konflik investitur yang paling buruk ialah antara Paus Gregorius VII dengan Henry IV yakni konflik dalam hal memperebutkan hak untuk memilih , menetapkan, mengangkat dan menempatkan uskup dan pejabat gereja lainnya. Wafatnya Gregorius VII tidak mengakhiri konflik antara petinggi Gereja dengan kekaisaran. Henry IV kembali berselisih dengan Paus Viktor III dan Urbanus II. Henry V menerapkan kebijakan yang sama. Akhir dari konflik investitur ini ialah tercapainya kesepakatan antara petinggi Gereja dan kekaisaran melalui perjanjian Worms tahun 1122.
Selanjutnya, pada periode ini juga terjadi Perang Salib yang berlangsung beberapa abad lamanya. Perang  ini dinyatakan oleh Paus Urbanus II. Penyebab utama Perang Salib ialah perebutan Tanah Suci di Yerusalem oleh penguasa orang-orang Islam. Dampak adanya perang salib ini antara lain: berkembangnya tata niaga, bertumbuhnya kota-kota, beredarnya kembali mata uang dan lahirnya kelompok borjuis.
Situasi semacam itu mendorong munculnya tarekat-tarekat baru yang berusaha membangkitkan karya misioner, yakni  Fransiskan yang didirikan oleh Fransiskus Assisi dan Dominikan yang didirikan oleh Dominikus Guzman.[6] Kedua tarekat tersebut bekerja di universitas-universitas yang akhirnya mempelopori kemunculan ilmu teologi skolastik.
Pada akhirnya, dalam periode ini, kepausan mencapai zaman keemasan pada saat Innocentius III terpilih sebagai Paus, meskipun sesudah itu, secara perlahan kepausan mengalami kemunduran akibat ketidakteraturan dan juga skisma serta konflik-konflik dengan kekaisaran yang kembali bergejolak. 

C.                Akhir Abad Pertengahan (1303-1450)
Persoalan Gereja yang muncul pada akhir abad pertengahan ialah perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kepausan dan kekaisaran. Selain itu, ada persoalan lain yang muncul di Eropa ialah perang 100 tahun antara Inggris dan Prancis dan juga konflik yang melibatkan sebagian besar negara-negara Eropa. Konflik antar negara tersebut juga disertai dengan wabah pes hitam yang mempengaruhi jumlah populasi dan perekonomian Eropa. Pada periode ini, kewibawaan kepausan merosot drastis sehingga menimbulkan pembuangan kepausan ke Avignon oleh para penguasa Prancis.
 Skisma Besar Gereja Barat juga turut menambah kekacauan Gereja di mana ada dua atau bahkan tiga paus yang menyatakan diri sebagai pewaris tahta St. Petrus yang sah. Hal ini awalnya disebabkan oleh diangkatnya para cardinal Prancis yang tidak puas dengan pemilihan paus sehingga mereka menghendaki pemilihan ulang.
Pengaruh renesans yang begitu mengagung-agungkan keindahan, mendorong paus untuk memberi prioritas pada pembangunan kota Roma daripada meningkatkan kehidupan spiritualitas umat. Persoalan lain dalam Gereja pada zaman itu ialah pengaruh konsiliarisme di mana umat mengharapkan sebuah konsili yang menetapkan satu paus yang sah. Gerakan ini pada awalnya berhasil, akan tetapi kemudian memunculkan situasi di mana ada satu paus dengan dua konsili.
Selain pengaruh konsiliarisme, munculnya paham nominalisme yang dimotori oleh William Ockharm serta bangkitnya Gereja-gereja Nasional juga turut menambah kesuraman Gereja pada masa itu. Paham nominalisme merupakan paham yang menentang ajaran skolastisisme dan segala sesuatu yang bersifat universal. Gerakan ini pada akhirnya mempengaruhi Martin Luther dalam gerakan reformasi Gereja sesudah masa itu.
Persoalan-persoalan tersebut mendorong munculnya berbagai macam bentuk reformasi seperti yang dihembuskan oleh John Wycliffe, Jan Huss dan Yakobus Savonarola. Orang-orang mulai mengharapkan adanya reformasi di seluruh Gereja dan mereka mendapat tempat pengungsian dalam suatu paham yang bernama mistisisme yang mengizinkan mereka mengolah hidup rohani dan mendekati Allah tanpa mengacuhkan Gereja yang kacau.
Mistisme menyebar luas ke seluruh Eropa. Meister Eckhart, seorang guru tersohor mistisisme pada masa itu  mengembangkan ajaran mistisme, tetapi kemudian ia dituduh panties. Para mistikus memandang diri mereka sebagai putera-putera setia Gereja dan beberapa merintis konflik terbuka dengan otoritas Gereja yang merendahkan paham tradisional Gereja, hierarki dan fungsinya.
Sementara itu, kekaisaran Bisantin secara perlahan mengalami kemunduran oleh karena kemajuan kekuatan bangsa Turki. Serangan-serangan yang dilancarkan bangsa Turki mampu menggulingkan kekaisaran Bisantin pada tahun 1453. Jatuhnya Konstantinopel ini membuat para ilmuwan melarikan diri ke Barat dengan membawa manuskrip-manuskrip kuno yang penting. Hal itu membawa dampak positif terhadap renesans dan karya para humanis di Barat. Pada akhir periode abad pertengahan ini, kekristenan menjadi matang karena perubahan-perubahan yang temporal yang terjadi dalam abad XVI.




[1] Ringkasan dari buku Eddy Kristiyanto. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 56-89.
[2] Juga disebut Gereja Latin/Roma.
[3] Juga disebut Gereja Yunani/Ortodoks/Bisantin.
[4] Kontroversi yang menyangkut gambar-gambar suci dalam tata peribadatan Kristen.
[5] Praktik jual beli kedudukan kegerejaan dan sakramen-sakramen.
[6] Dikenal pula dengan sebutan tarekat mendikantes yang berarti hidup dari mengemis.