Ajaran dan Doktrin Sang Reformator
A.
Pengantar
Martin Luther
(1483-1546) adalah tokoh Reformasi Protestantisme yang ajaran dan doktrinnya
memiliki dampak besar bagi Gereja Katolik. Melalui gerakan Reformasi
Protestantisme, Luther berkehendak untuk membentuk kembali (Lat. Reformare) keadaan Gereja Katolik yang telah mengalami
kemerosotan, agar menjadi lebih baik menurut bentuk yang semestinya. Beberapa
ajaran dan doktrin yang dikemukakan Luther menjadi semacam gempuran besar
terhadap Gereja Katolik, yang kemudian harus ditandingi dengan pembaruan
internal melalui Konsili Trento.[1]
Ajaran dan doktrin
teologis Luther banyak dipengaruhi oleh pemikiran Agustinus. Hal ini tampak
jelas dari 95 dalil yang ia keluarkan untuk menentang Gereja Katolik berkaitan
dengan komersialisasi surat penghapusan dosa. Agustinus melawan pelagianisme, yakni
bidaah yang mengajarkan pahan rahmat di mana manusia dapat memperoleh
keselamatan lewat ketekunan usahanya sendiri.[2] Begitu
pula dengan Luther yang menentang pandangan tersebut dengan dilandasi oleh
pengalaman pribadinya sendiri, yaitu rasa frustrasi secara psikologis akan
pencarian keselamatan Allah yang tidak mampu ia peroleh.
Dalam konteks Sejarah Gereja, doktrin-doktrin
dan ajaran Luther ini tidak dapat dipandang sebelah mata. De facto, doktrin dan ajaran tersebut telah memberikan dampak yang
besar bagi Gereja Katolik dan mengundang banyak diskusi serta perdebatan
teologis yang sengit antara pendukung Luther dan Gereja Katolik sejak pertama
kali dikeluarkan.[3]
Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini secara khusus hendak membahas garis
besar ajaran dan doktrin Sang Reformator, yakni Martin Luther dalam usahanya
memperbarui Gereja.
B.
Pokok-Pokok Ajaran dan Doktrin Martin Luther
Ada 3 hal yang secara
substansial menjadi doktrin teologis Martin Luther dalam usahanya memperbarui
Gereja, antara lain: 1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal
atas manusia melalui sola fide. 2)
Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. 3) Ajaran tentang imamat umum dalam hubungannya
dengan kuasa untuk menafsirkan Alkitab. Sementara itu, semua proposisi teologis
lainnya merupakan akibat dari prinsip-prinsip tersebut, misalnya: ajaran
tentang yustifikasi, predestinasi[4],
kembali ke Alkitab, Sakramen, Gereja, pemikiran politik reformasi dan pengaruh
pemikiran reformasi atas sejarah.[5]
Selanjutnya, akan dibahas beberapa penjabaran atas substansi doktriner tersebut
di atas.
1.
Sola Fide (Hanya Iman)
Doktrin tradisional Gereja mengatakan bahwa manusia
diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Hal itu berarti imam menjadi nyata
sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam
karya-karya. Dengan tegas, Luther menanggapi doktrin tradisional tersebut
dengan cara menentang nilai karya manusia dan hanya membenarkan nilai iman.
Perlawanan Luther juga dilatarbelakangi oleh rasa
frustasi secara psikologis yang mendalam yang ia rasakan karena berpikir bahwa
ia tidak mampu memperoleh keselamatan kekal dengan usaha dan karya manusiawinya
sendiri. Ia mengalami sendiri suasana batin bahwa ia tetap berdosa meskipun
telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik dan saleh. Meskipun telah
berpuasa, menjalani hidup mati raga, berziarah dan menerima sakramen, Luther
tetap merasa jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Kemudian, ia
berkeyakinan bahwa kegagalan terus menerus untuk hidup baik tersebut
menunjukkan rusaknya kodrat manusia pada akarnya. Manusia itu sedemikian rusak
kodratnya, sehingga usaha apapun yang dilakukan untuk hidup baik tidak akan
berhasil.[6]
Selanjutnya, rasa frustrasi tersebut membawanya pada
sebuah solusi, yakni hanya dengan beriman pada Allah saja, keselamatan dapat diperoleh.
Baginya, imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut kekhawatiran
hidup insan beriman. Motivasi konseptual doktrin Luther adalah Allah
menciptakan manusia “dari ketiadaan”. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu
melakukan hal baik yang dinilai di hadirat Allah. Luther juga berpendapat bahwa
Iustitia Dei (keadilan Allah)
semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Keadilan ini tanpa
menuntut jasa dan hak manusia. Manusia mendapatkan keadilan Allah bukan karena
karya-karyanya, melainkan karena kepastian akan keselamatan yang dilakukan oleh
Allah. Jadi, semakin ditegaskan bahwa karya insani manusia tidak dapat
menyelamatkan manusia.[7]
2.
Sola Scriptura (Hanya Alkitab)
Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja
karena berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain
Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan, termasuk tradisi kristiani
sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang tidak dapat
dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan hubungan
antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka. Dengan
demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja
ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang
dipancarkan Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther
mengganti struktur hierarki Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan
fungsi imamat semua orang beriman dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian,
hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel (tidak dapat sesat).
Bagi Luther, peran para hierarki Gereja Katolik
justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab secara benar, Maka dari
itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua orang. Untuk
mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman,
karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang,
kecuali para klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap
sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang
tepat mengenai yustifikasi iman dengan tujuan untuk memberi dasar yang kokoh
pada ajaran dan doktrinnya.[8]
3.
Sola Gratia (Hanya Rahmat)
Dalam imannya, manusia sudah dapat merasa dibenarkan
oleh Allah karena rahmat-Nya semata-mata. Berkenaan dengan cara berpikir ajaran
tersebut, selanjutnya tidak dibutuhkan lagi perantara manusia dengan Allah,
misalnya: peran dan fungsi imam yang menuntut ajaran Gereja Katolik supaya dapat
menyalurkan rahmat pengampunan dosa dari Allah kepada manusia. Luther yakin
bahwa setiap individu beriman berhadapan langsung dengan Allah sendiri dan
secara pribadi bertanggungjawab kepada-Nya.[9]
Pada akhir abad pertengahan sampai awal zaman renaissance, peran dan kredibilitas para
klerus semakin menurun. Kesucian Gereja Katolik ternoda oleh kebobrokan yang
dilakukan oleh para klerus pada waktu itu, terutama praktek komersialisasi
indulgensi. Itulah yang mendorong Luther menolak Gereja yang hierarkis seperti
yang diperlihatkan oleh Gereja Katolik Roma.
Perlawanan
Luther ditunjukkan melalui pemasangan surat pernyataan sikapnya yang berisi 95
dalil di pintu masuk Gereja biara di kota Wittenberg, Jerman pada tanggal 31
Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktek Gereja Katolik yang
memperdagangkan surat pengampunan dosa dengan tujuan untuk mendapatkan uang
bagi pembangunan berbagai proyek gerejawi, misalnya: pembangunan gereja-gereja
megah, termasuk Gereja Basilika St. Petrus di Vatikan. Situasi yang terjadi
pada waktu itu ialah banyak orang sederhana percaya bahwa dengan membeli surat
itu, mereka akan memperoleh keselamatan karena dosa-dosa mereka telah
terampuni. Hal itu berarti keselamatan manusia merupakan hasil prestasi manusia
itu sendiri dan bukan lantaran rahmat Allah.[10]
Kekecewaan Luther terhadap para klerus tersebut
menjadi dasar pemikirannya bahwa manusia beriman tidak membutuhkan mediasi
insani. Kebebasan umat beriman yang adalah anak-anak Allah telah memungkinkan
Allah untuk berhubungan secara langsung dengan mereka. Hal itu melandasi
pemikiran Luther lainnya, yakni penolakkan terhadap Ekaristi sebagai sebuah
kurban. Kurban salib Kristus hanya terjadi sekali, yakni di puncak Kalvari dan setelah
itu tidak terulang lagi. Kemudian, Luther mereduksi jumlah sakramen dari 7
menjadi 2, yakni sakramen Babtis dan Ekaristi. Berkaitan dengan sakramen, ia
mendevaluasi pemahaman tradisional tentang sakramen dengan mengurangi
tanda-tanda lahiriah dari rahmat sakramentali, iman dan kebebasan yang sungguh
kuat tentang kultus.[11]
C.
Kesimpulan dan Refleksi
Secara
ringkas, ajaran dan doktrin pokok Luther adalah sebagai berikut: sola fide atau pembenaran oleh iman saja
dan tidak oleh karya-karya manusia yang baik sekalipun; sola scriptura atau hanya Alkitab dan bukan tradisi manusiawi yang
merupakan norma iman yang mempunyai wibawa; dan sola gratia atau pembenaran oleh rahmat Allah saja.[12] Beberapa
ajaran lainnya merupakan konsekuensi dari ketiga doktrin teologis tersebut.
Seluruh ajaran dan doktrin Luther merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi
aktual Gereja Katolik waktu itu yang sedang kacau.
Bagi
Gereja Katolik, munculnya ajaran dan doktrin Luther ini sepatutnya dijadikan
bahan refleksi. Kita tahu bahwa sejak kemunculan ajaran dan doktrin Luther,
Gereja bersikap tegas untuk melawannya. Akan tetapi, secara rasional, apa yang
diajarkan Luther memiliki unsur kebenaran. Kita bahkan tidak bisa mengelak dari
kenyataan kebobrokan Gereja Katolik pada waktu itu. Oleh sebab itu, kiranya
baik jika peristiwa Reformasi Protestantisme yang juga disertai dengan
kemunculan ajaran dan doktrin Luther ini, kita jadikan bahan untuk bersikap self-critic. Terhadap masa lalu, kita
belajar dan berusaha mensyukurinya. Sementara itu, terhadap masa depan, kita juga
harus bersikap terbuka akan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk
perubahan-perubahan. Dengan demikian, kita dapat terus berkarya sebagai umat
Allah dalam satu persekutuan besar Gereja Katolik.
Daftar Pustaka
Kristiyanto, Eddy. Reformnasi dari Dalam. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
--------------------- .
Selilit Sang Nabi. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
--------------------- .
Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Lanur, Alex. “Sejarah Filsafat Abad Pertengahan”.
Paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Filsafat Abad Pertengahan di STF
Driyarkara Jakarta tanggal 5 Februari 2014.
Lili Tjahjadi, Simon. “Reformasi Protestan.” Paper
dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta
pada tanggal 10 Februari 2014.
McGrath, Alister E. Iustitia Dei. Cambridge University
Press, 1986.
Suharyo, Ignatius. Penj.,
Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme.”
Yogyakarta: Kanisius, 1996. Diterjemahkan dari O’Collins, Gerald dan Farrugia,
Edward G. A Concise Dictionary of
Theology. New Jersey: Paulist Press, 1991.
[1] Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), 90. Bdk. Simon Lili
Tjahjadi, “Reformasi Protestantisme,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah
Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta, pada tanggal 10 Februari
2014, 1).
[2] Eddy Kristiyanto, Selilit Sang Nabi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 118. Bdk. Alex
Lanur, “Filsafat Abad Pertengahan,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah
Filsafat Abad Pertengahan tanggal 5 Februari 2014, 7).
[3] Simon Lili Tjahjadi, 7.
[4]Alister E McGrath,
Iustitia Dei, (Cambridge-New York: Cambridge
University Press, 1986), 129. “… God predestined some to eternal life and others
to damnation, or the related conclusion that Christ died only for the elect.”
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 54.
[6] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 54-55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[7] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[8] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 56-57. Bdk.
Simon Lili Tjahjadi, 6.
[9] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk.
Simon Lili Tjahjadi, 5.
[10] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5-6.
[11] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57-58.
[12] Bdk. Ignatius Suharyo, penj., Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme,” (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), 182. Diterjemahkan dari Gerald O’Collins dan Edward G
Farrugia, A Concise Dictionary of
Theology, (New Jersey: Paulist Press, 1991).
No comments:
Post a Comment