Saturday, 30 August 2014

Ajaran dan Doktrin Sang Reformator

Ajaran dan Doktrin Sang Reformator
A.       Pengantar
Martin Luther (1483-1546) adalah tokoh Reformasi Protestantisme yang ajaran dan doktrinnya memiliki dampak besar bagi Gereja Katolik. Melalui gerakan Reformasi Protestantisme, Luther berkehendak untuk membentuk kembali (Lat. Reformare) keadaan Gereja Katolik yang telah mengalami kemerosotan, agar menjadi lebih baik menurut bentuk yang semestinya. Beberapa ajaran dan doktrin yang dikemukakan Luther menjadi semacam gempuran besar terhadap Gereja Katolik, yang kemudian harus ditandingi dengan pembaruan internal melalui Konsili Trento.[1]
Ajaran dan doktrin teologis Luther banyak dipengaruhi oleh pemikiran Agustinus. Hal ini tampak jelas dari 95 dalil yang ia keluarkan untuk menentang Gereja Katolik berkaitan dengan komersialisasi surat penghapusan dosa. Agustinus melawan pelagianisme, yakni bidaah yang mengajarkan pahan rahmat di mana manusia dapat memperoleh keselamatan lewat ketekunan usahanya sendiri.[2] Begitu pula dengan Luther yang menentang pandangan tersebut dengan dilandasi oleh pengalaman pribadinya sendiri, yaitu rasa frustrasi secara psikologis akan pencarian keselamatan Allah yang tidak mampu ia peroleh.
 Dalam konteks Sejarah Gereja, doktrin-doktrin dan ajaran Luther ini tidak dapat dipandang sebelah mata. De facto, doktrin dan ajaran tersebut telah memberikan dampak yang besar bagi Gereja Katolik dan mengundang banyak diskusi serta perdebatan teologis yang sengit antara pendukung Luther dan Gereja Katolik sejak pertama kali dikeluarkan.[3] Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini secara khusus hendak membahas garis besar ajaran dan doktrin Sang Reformator, yakni Martin Luther dalam usahanya memperbarui Gereja.
B.        Pokok-Pokok Ajaran dan Doktrin Martin Luther
Ada 3 hal yang secara substansial menjadi doktrin teologis Martin Luther dalam usahanya memperbarui Gereja, antara lain: 1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal atas manusia melalui sola fide. 2) Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran. 3) Ajaran tentang imamat umum dalam hubungannya dengan kuasa untuk menafsirkan Alkitab. Sementara itu, semua proposisi teologis lainnya merupakan akibat dari prinsip-prinsip tersebut, misalnya: ajaran tentang yustifikasi, predestinasi[4], kembali ke Alkitab, Sakramen, Gereja, pemikiran politik reformasi dan pengaruh pemikiran reformasi atas sejarah.[5] Selanjutnya, akan dibahas beberapa penjabaran atas substansi doktriner tersebut di atas.

1.      Sola Fide (Hanya Iman)
Doktrin tradisional Gereja mengatakan bahwa manusia diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Hal itu berarti imam menjadi nyata sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam karya-karya. Dengan tegas, Luther menanggapi doktrin tradisional tersebut dengan cara menentang nilai karya manusia dan hanya membenarkan nilai iman.
Perlawanan Luther juga dilatarbelakangi oleh rasa frustasi secara psikologis yang mendalam yang ia rasakan karena berpikir bahwa ia tidak mampu memperoleh keselamatan kekal dengan usaha dan karya manusiawinya sendiri. Ia mengalami sendiri suasana batin bahwa ia tetap berdosa meskipun telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik dan saleh. Meskipun telah berpuasa, menjalani hidup mati raga, berziarah dan menerima sakramen, Luther tetap merasa jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Kemudian, ia berkeyakinan bahwa kegagalan terus menerus untuk hidup baik tersebut menunjukkan rusaknya kodrat manusia pada akarnya. Manusia itu sedemikian rusak kodratnya, sehingga usaha apapun yang dilakukan untuk hidup baik tidak akan berhasil.[6]
Selanjutnya, rasa frustrasi tersebut membawanya pada sebuah solusi, yakni hanya dengan beriman pada Allah saja, keselamatan dapat diperoleh. Baginya, imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut kekhawatiran hidup insan beriman. Motivasi konseptual doktrin Luther adalah Allah menciptakan manusia “dari ketiadaan”. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu melakukan hal baik yang dinilai di hadirat Allah. Luther juga berpendapat bahwa Iustitia Dei (keadilan Allah) semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Keadilan ini tanpa menuntut jasa dan hak manusia. Manusia mendapatkan keadilan Allah bukan karena karya-karyanya, melainkan karena kepastian akan keselamatan yang dilakukan oleh Allah. Jadi, semakin ditegaskan bahwa karya insani manusia tidak dapat menyelamatkan manusia.[7]

2.      Sola Scriptura (Hanya Alkitab)
Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja karena berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan, termasuk tradisi kristiani sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang tidak dapat dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan hubungan antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka. Dengan demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang dipancarkan Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther mengganti struktur hierarki Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan fungsi imamat semua orang beriman dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian, hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel (tidak dapat sesat).
Bagi Luther, peran para hierarki Gereja Katolik justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab secara benar, Maka dari itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman, karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang, kecuali para klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang tepat mengenai yustifikasi iman dengan tujuan untuk memberi dasar yang kokoh pada ajaran dan doktrinnya.[8]

3.      Sola Gratia (Hanya Rahmat)
Dalam imannya, manusia sudah dapat merasa dibenarkan oleh Allah karena rahmat-Nya semata-mata. Berkenaan dengan cara berpikir ajaran tersebut, selanjutnya tidak dibutuhkan lagi perantara manusia dengan Allah, misalnya: peran dan fungsi imam yang menuntut ajaran Gereja Katolik supaya dapat menyalurkan rahmat pengampunan dosa dari Allah kepada manusia. Luther yakin bahwa setiap individu beriman berhadapan langsung dengan Allah sendiri dan secara pribadi bertanggungjawab kepada-Nya.[9]
Pada akhir abad pertengahan sampai awal zaman renaissance, peran dan kredibilitas para klerus semakin menurun. Kesucian Gereja Katolik ternoda oleh kebobrokan yang dilakukan oleh para klerus pada waktu itu, terutama praktek komersialisasi indulgensi. Itulah yang mendorong Luther menolak Gereja yang hierarkis seperti yang diperlihatkan oleh Gereja Katolik Roma.
 Perlawanan Luther ditunjukkan melalui pemasangan surat pernyataan sikapnya yang berisi 95 dalil di pintu masuk Gereja biara di kota Wittenberg, Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktek Gereja Katolik yang memperdagangkan surat pengampunan dosa dengan tujuan untuk mendapatkan uang bagi pembangunan berbagai proyek gerejawi, misalnya: pembangunan gereja-gereja megah, termasuk Gereja Basilika St. Petrus di Vatikan. Situasi yang terjadi pada waktu itu ialah banyak orang sederhana percaya bahwa dengan membeli surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan karena dosa-dosa mereka telah terampuni. Hal itu berarti keselamatan manusia merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri dan bukan lantaran rahmat Allah.[10]
Kekecewaan Luther terhadap para klerus tersebut menjadi dasar pemikirannya bahwa manusia beriman tidak membutuhkan mediasi insani. Kebebasan umat beriman yang adalah anak-anak Allah telah memungkinkan Allah untuk berhubungan secara langsung dengan mereka. Hal itu melandasi pemikiran Luther lainnya, yakni penolakkan terhadap Ekaristi sebagai sebuah kurban. Kurban salib Kristus hanya terjadi sekali, yakni di puncak Kalvari dan setelah itu tidak terulang lagi. Kemudian, Luther mereduksi jumlah sakramen dari 7 menjadi 2, yakni sakramen Babtis dan Ekaristi. Berkaitan dengan sakramen, ia mendevaluasi pemahaman tradisional tentang sakramen dengan mengurangi tanda-tanda lahiriah dari rahmat sakramentali, iman dan kebebasan yang sungguh kuat tentang kultus.[11]

C.       Kesimpulan dan Refleksi
Secara ringkas, ajaran dan doktrin pokok Luther adalah sebagai berikut: sola fide atau pembenaran oleh iman saja dan tidak oleh karya-karya manusia yang baik sekalipun; sola scriptura atau hanya Alkitab dan bukan tradisi manusiawi yang merupakan norma iman yang mempunyai wibawa; dan sola gratia atau pembenaran oleh rahmat Allah saja.[12] Beberapa ajaran lainnya merupakan konsekuensi dari ketiga doktrin teologis tersebut. Seluruh ajaran dan doktrin Luther merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi aktual Gereja Katolik waktu itu yang sedang kacau.
Bagi Gereja Katolik, munculnya ajaran dan doktrin Luther ini sepatutnya dijadikan bahan refleksi. Kita tahu bahwa sejak kemunculan ajaran dan doktrin Luther, Gereja bersikap tegas untuk melawannya. Akan tetapi, secara rasional, apa yang diajarkan Luther memiliki unsur kebenaran. Kita bahkan tidak bisa mengelak dari kenyataan kebobrokan Gereja Katolik pada waktu itu. Oleh sebab itu, kiranya baik jika peristiwa Reformasi Protestantisme yang juga disertai dengan kemunculan ajaran dan doktrin Luther ini, kita jadikan bahan untuk bersikap self-critic. Terhadap masa lalu, kita belajar dan berusaha mensyukurinya. Sementara itu, terhadap masa depan, kita juga harus bersikap terbuka akan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan. Dengan demikian, kita dapat terus berkarya sebagai umat Allah dalam satu persekutuan besar Gereja Katolik.  



Daftar Pustaka
Kristiyanto, Eddy. Reformnasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

--------------------- . Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

--------------------- . Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Lanur, Alex. “Sejarah Filsafat Abad Pertengahan”. Paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Filsafat Abad Pertengahan di STF Driyarkara Jakarta tanggal 5 Februari 2014.

Lili Tjahjadi, Simon. “Reformasi Protestan.” Paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta pada tanggal 10 Februari 2014.

McGrath, Alister E. Iustitia Dei. Cambridge University Press, 1986.

Suharyo, Ignatius. Penj., Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme.” Yogyakarta: Kanisius, 1996. Diterjemahkan dari O’Collins, Gerald dan Farrugia, Edward G. A Concise Dictionary of Theology. New Jersey: Paulist Press, 1991.



[1] Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 90. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, “Reformasi Protestantisme,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara Jakarta, pada tanggal 10 Februari 2014, 1).
[2] Eddy Kristiyanto, Selilit Sang Nabi, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 118. Bdk. Alex Lanur, “Filsafat Abad Pertengahan,” (paper dipresentasikan dalam Kuliah Filsafat Abad Pertengahan tanggal 5 Februari 2014, 7).
[3] Simon Lili Tjahjadi, 7.
[4]Alister E McGrath, Iustitia Dei, (Cambridge-New York: Cambridge University Press, 1986), 129. “… God predestined some to eternal life and others to damnation, or the related conclusion that Christ died only for the elect.”
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 54.
[6] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 54-55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[7] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 55. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[8]  Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 56-57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 6.
[9]  Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5.
[10] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, 5-6.
[11] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 57-58.
[12] Bdk. Ignatius Suharyo, penj., Kamus Teologi, Entri “Lutheranisme,” (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 182. Diterjemahkan dari Gerald O’Collins dan Edward G Farrugia, A Concise Dictionary of Theology, (New Jersey: Paulist Press, 1991).

No comments:

Post a Comment