Kebebasan dalam Kristus Mengalahkan Ketaatan terhadap
Peraturan Duniawi
(Tafsir Kolose
2:16-23)
Perikop Kol 2:16-23 adalah salah satu bagian penting dari
Surat Rasul Paulus yang ia tujukan kepada jemaat Kristen di Kolose. Kolose
adalah sebuah kota kecil di daerah Asia Kecil, yang terletak di perjalanan
antara Efesus dan Antiokhia; dekat dengan Hierapolis dan Laodikia.[1] Sebenarnya
otentisitas kepengarangan surat ini masih diperdebatkan. Meskipun pengarang
menyebut diri Paulus (Kol 1:1; 4:8), sebenarnya belum tentu Paulus sendiri yang
mengarang surat ini. Akan tetapi, hal yang jelas adalah bahwa surat ini berada
dalam alur tradisi Paulus.[2] Perikop
ini bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri melainkan terkait erat dengan
bagian sebelumnya di mana Paulus merumuskan gagasannya untuk melawan praktik
ajaran yang salah dari para pengajar sesat di Kolose.[3]
Karena perikop Kol 2:16-23 ini bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri,
maka dalam tafsir perikop ini pun masih sedikit banyak menyinggung
perikop-perikop lain yang berhubungan erat.
Eksegese
Perikop ini diawali dengan kata hubung ‘Karena itu…’ (ayat 16) yang berarti
berhubungan erat dengan bagian sebelumnya, yakni ayat 15 yang mengatakan bahwa
kemenangan Kristus telah mengatasi segala musuh rohani dalam bentuk ketaatan
terhadap ajaran-ajaran filsafat jemaat di Kolose. Oleh sebab itu, jemaat tidak
dapat dijatuhi hukuman atas dasar soal-soal makanan dan minuman atau mengenai
hari raya.[4]
Istilah filsafat itu sendiri pertama kali muncul pada Kol 2:8. Semua peraturan
yang dikatakan Paulus pada ayat 16 tidak lain adalah produk dari filsafat
jemaat di Kolose yang dihidupi sebagai ajaran turun-temurun. Dengan kata lain,
filsafat di sini bukan sekadar ajaran teoretis belaka, melainkan suatu cara
hidup yang sudah cukup mendarahdaging dalam diri jemaat.[5] Bagi Paulus, ketika jemaat yang sudah berada dalam
kemenangan Kristus masih tunduk pada peraturan-peraturan tersebut, hal itu sama
artinya dengan memperbudak diri sendiri dengan perkara-perkara duniawi.
Dengan tegas Paulus mengkritik praktik-praktik filsafat
yang dihidupi jemaat di Kolose tersebut. Pada Kol 1:16; 2:10, 14-15, secara
jelas ditunjukkan Paulus bahwa filsafat jemaat di Kolose lebih mementingkan ‘pemerintah’
dan ‘penguasa’ dunia serta ‘unsur-unsur dunia’ (Kol 2:8,10,20).[6] Bahkan
seperti yang sudah disebutkan di atas, peraturan-peraturan tersebut justru
menyoroti persoalan makanan dan minuman atau mengenai hari raya, seperti bulan
baru atau sabat baru (Kol 2:16-17). Paulus
menegaskan kembali peringatan yang secara tegas ia berikan kepada jemaat, dengan
menunjukkan bahwa segala bentuk ketaatan pada peraturan-peraturan seperti yang
disebutkan pada ayat 16, hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, yang wujudnya
adalah Kristus sendiri (ayat 17). Oleh sebab itu, Paulus menasihati jemaat di
Kolose untuk tidak tunduk kepada aneka macam peraturan duniawi.
Dengan mendasarkan gagasannya pada kemenangan Kristus,
Paulus menyerukan supaya jemaat yang sudah berada dalam kemenangan Kristus,
selain tidak membiarkan siapa pun menghukum mereka, juga tidak membiarkan
kemenangan mereka digagalkan. Hal ini tampak dalam ungkapan ‘Jangankah kamu biarkan kemenanganmu
digagalkan…’ (ayat 18). Pilihan kata yang digunakan di sini adalah ‘digagalkan’
(disqualified/καταβραβεύω/katabrabeuō).
Pilihan kata ini lebih menggambarkan konteks suatu pertandingan olah raga di
mana ada pihak yang menang dan yang kalah. Kemenangan seseorang dapat saja
digagalkan seandainya para pengadil pertandingan mengubah keputusan dengan
tidak adil.[7]
Pihak yang dapat menggagalkan kemenangan tidak lain
adalah mereka yang digambarkan oleh Paulus sebagai orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat....
(ayat 18). Tindakan pura-pura merendahkan
diri menurut Tom Jacobs sebenarnya bermakna menonjolkan diri, karena tujuan
mereka adalah demi pemenuhan seperti yang sebelumnya dikatakan dalam Kol
2:9. Tom menambahkan bahwa dalam teks
asli sebenarnya kata ‘pura-pura’ tidak ada, maka yang dimaksud sebenarnya
adalah ‘menonjolkan diri’.[8]
Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan ini bermacam-macam, termasuk melalui perantara
malaikat.[9] Ungkapan
‘beribadah kepada malaikat...’ di
sini hendak mengatakan bahwa pihak yang dapat menggagalkan kemenangan jemaat
dalam Kristus ialah juga mereka yang melakukan tindakan memohon bantuan kepada
malaikat yang berarti tidak mengindahkan Kristus. Sementara itu, banyak
perdebatan di antara para ahli berkaitan dengan ungkapan ‘… berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan
tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi’. Jemaat
di Kolose didorong sekuat mungkin oleh sesuatu yang tidak lebih dari pandangan
ekstatis untuk mengejar kemajuan rohani. Mereka yang bergantung pada
penglihatan-penglihatan dan sejenisnya menaruh lebih banyak kepercayaan pada
kekuatan mental diri sendiri daripada yang semestinya. Inilah yang
mengakibatkan kesombongan rohani.[10]
Pada ayat 19, Paulus hendak membuktikan bahwa mereka yang
berusaha menyesatkan jemaat di Kolese sudah tidak lagi cocok dengan Kepala.
Mereka sudah tidak mementingkan lagi hubungan dengan Kristus yang adalah kepala
tubuh-Nya. Dari kepala ini seluruh tubuh dengan semua bagiannya mendapat
pertumbuhan dari Allah. Dengan demikian, sudah semestinya seluruh bagian tubuh
termasuk urat-urat dan sendi-sendi berada di bawah bimbingan kepala dan bekerja
sebagai satu kesatuan. Ini adalah gambaran menarik tentang keesaan hakiki
Gereja Kristus. Patut diperhatikan kata ditunjang dan diikat menjadi satu. Kata ditunjang berarti ‘dilengkapi’. Dengan
kata lain, supaya tubuh dapat berfungsi sebagai tubuh, harus disiapkan dengan
sendi-sendi serta pengikatannya supaya dapat menjamin pertumbuhan yang sehat. Sementara
itu, kata diikat berarti ‘bersatu’
dalam kasih.[11]
Paulus
melanjutkan argumentasinya atas dasar apa yang akan terjadi jika jemaat di Kolose
menyatukan dirinya dengan Kristus dalam kematian-Nya. Ungkapan ‘Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan
Kristus’ (ayat 19) harus dibandingkan dengan apa yang
tertera dalam Kol 3:1, Karena itu, kalua
kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus…’ Kematian jemaat pengikut Kristus mencakup penghancuran
penguasa-penguasa rohani (Kol 2:14-15). Dengan demikian, jemaat pengikut
Kristus tidak dapat lagi memandang dunia seolah-olah masih dikuasai oleh
roh-roh. Paulus sekali lagi menegaskan supaya jemaat di Kolose tidak goyah. Jika
peraturan-peraturan yang diajarkan oleh filsafat Kolose hanya terikat pada
hal-hal yang telah ditiadakan oleh Kristus, maka tidak masuk akal kalau jemaat
masih tunduk kepadanya.[12]
Pada
ayat 21, Paulus menyebut beberapa contoh mengenai peraturan-peraturan yang
telah usang, seperti jangan jamah ini,
jangan kecap itu, jangan sentuh ini. Peraturan-peraturan itu sangat
beraroma Yahudi, Karena larangan-larangan itu termasuk pada hakikatnya
Yudaisme.[13] Pada
ayat 23, peraturan-peraturan yang dimaksud Paulus tampak penuh hikmat itu mengacu
kembali pada larangan-larangan makanan. Paulus menunjukkan bahwa
peraturan-peraturan tersebut terlihat baik karena mencakup tindakan penguasaan
diri. Akan tetapi, Paulus menjelaskan bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak
ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi. Dalam hal ini, Paulus hendak
menjelaskan bahwa meskipun ada peraturan ketat tentang penguasaan diri,
larangan-larangan seperti telah disebutkan tidak menyinggung masalah-masalah
moral tentang nafsu jasmani.[14]
Relevansi untuk Zaman Sekarang
Surat
Paulus kepada jemaat di Kolose yang secara umum berisi nasihat untuk tidak
tunduk terhadap ajaran-ajaran palsu ini memiliki relevansi untuk zaman
sekarang. Relevansi pertama ialah bagi masyarakat kita secara global. Dunia
tempat kita tinggal dewasa ini menawarkan banyak hal yang menuntut kita untuk
selalu mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi,
seringkali yang jahat justru terselubung dalam bentuk yang seolah-olah baik.
Hal ini membuat antara yang baik dan yang jahat ambigu sehingga tidak
mengherankan jika banyak orang terjerumus di dalamnya.
Salah
satu contoh yang marak terjadi saat ini adalah fenomena munculnya
kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama. Hal yang ada di benak mereka
yang tergabung dalam kelompok-kelompok tersebut tentunya adalah keinginan untuk
menghidupi dengan penuh semangat iman akan Tuhan secara radikal. Semangat ini
dapat disebut sebagai tindakan asketik yang luar biasa supaya mereka dapat
merasakan hubungan yang lebih erat dengan Tuhannya. Akan tetapi, cara yang
mereka tempuh jelas keliru. Bagaimana mungkin seorang manusia yang ingin
beriman pada Tuhan justru menghalalkan darah manusia lainnya? Bagaimana bisa
seorang manusia yang ingin beriman pada Tuhan justru bertindak secara keji
dengan menyerang kelompok lain yang tidak sepandangan dan bahkan membunuh
mereka? Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih tunduk pada ajaran-ajaran palsu
yang seolah tampak suci.
Di
belakang mereka yang tergabung dalam kelompok radikal ini tentunya ada para
pencuci otak yang dapat kita sebut sebagai pengajar ajaran palsu. Semangat
keberimanan akan Tuhan, mereka bengkokkan sedemikian rupa sehingga justru
menyimpang dari tujuan aslinya. Mereka membangkitkan heroisme kemartiran setiap
orang yang potensial bergabung sampai-sampai meyakinkan siapa saja mereka bahwa
jika mati demi ajaran agama, maka akan mendapat reward, misalnya akan mendapat bidadari di surga. Dengan demikian,
kematian mereka tidak akan sia-sia. Hal ini jelas merupakan tindakan yang tidak
sesuai dengan paham iman yang benar.
Relevansi
kedua ialah bagi umat Katolik sendiri. Surat Paulus kepada jemaat di Kolose ini
dapat menjadi bahan refleksi setiap umat Katolik yang selama ini masih sering
jatuh pada perkara ritus dan liturgi. Dewasa ini seringkali kita jumpai di
kalangan umat Katolik sendiri, pandangan konservatif yang mengedepankan ritus
dan liturgi. Hal ini membuat umat Katolik sendiri terus-menerus berdebat
mengenai perkara jasmani saja, sehingga melupakan hal-hal yang lebih
substansial. Paulus menentang perihal fisik karena itu hanyalah unsur duniawi
yang tidak lebih penting daripada substansinya. Bagi kita, pandangan Paulus ini
dapat menjadi semacam undangan untuk tidak terlalu banyak mengatur hal-hal yang
sangat praktis dalam tindakan keberimanan kita.
Daftar Pustaka
Alkitab
Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,
2007.
Bergant,
Dianne dan Karris, Robert J (Peny.). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Terjemahan dari
Hadiwiyata, A.S. (Penj.) The Collegeville
Bible Commentary. Minnesota: The Liturgical Press, 1989.
Guthrie, Donald, dkk. Tafsiran
Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1976. Terjemahan dari Soedarmo (Penj.). The New Bible Commentary. London: Inter-Varsity Press, 1976.
Jacobs, Tom. Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Yogyakarta:
Kanisius, 1983.
Keck,
Leander E. The New Interpreter’s Bible:
Volume XI.
Nashville: Abingdon Press, 1994.
[2] Dianne Bergant dan
Robert J. Karris (peny.), Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 360.
[4] Donald
Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini
3: Matius-Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1976), hlm.
649.
[7] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI,
(Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 632. “The word employed for “disqualify” evokes the image of an umpire
ruling against a contestant in a game and thereby depriving that person of any
prize.”
[10] Leander
E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume
XI, hlm. 633. Bdk. Donald
Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini
3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[11] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI,
hlm. 633. Bdk. Donald
Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini
3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[12] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI,
hlm. 633. Bdk. Donald
Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini
3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[14] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI,
hlm. 633. Bdk. Donald
Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini
3: Matius-Wahyu, hlm. 650.