Tuesday, 11 April 2017

Kebebasan dalam Kristus Mengalahkan Ketaatan terhadap Peraturan Duniawi

Kebebasan dalam Kristus Mengalahkan Ketaatan terhadap Peraturan Duniawi
(Tafsir Kolose 2:16-23)

Perikop Kol 2:16-23 adalah salah satu bagian penting dari Surat Rasul Paulus yang ia tujukan kepada jemaat Kristen di Kolose. Kolose adalah sebuah kota kecil di daerah Asia Kecil, yang terletak di perjalanan antara Efesus dan Antiokhia; dekat dengan Hierapolis dan Laodikia.[1] Sebenarnya otentisitas kepengarangan surat ini masih diperdebatkan. Meskipun pengarang menyebut diri Paulus (Kol 1:1; 4:8), sebenarnya belum tentu Paulus sendiri yang mengarang surat ini. Akan tetapi, hal yang jelas adalah bahwa surat ini berada dalam alur tradisi Paulus.[2] Perikop ini bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri melainkan terkait erat dengan bagian sebelumnya di mana Paulus merumuskan gagasannya untuk melawan praktik ajaran yang salah dari para pengajar sesat di Kolose.[3] Karena perikop Kol 2:16-23 ini bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri, maka dalam tafsir perikop ini pun masih sedikit banyak menyinggung perikop-perikop lain yang berhubungan erat.

Eksegese
Perikop ini diawali dengan kata hubung ‘Karena itu…’ (ayat 16) yang berarti berhubungan erat dengan bagian sebelumnya, yakni ayat 15 yang mengatakan bahwa kemenangan Kristus telah mengatasi segala musuh rohani dalam bentuk ketaatan terhadap ajaran-ajaran filsafat jemaat di Kolose. Oleh sebab itu, jemaat tidak dapat dijatuhi hukuman atas dasar soal-soal makanan dan minuman atau mengenai hari raya.[4] Istilah filsafat itu sendiri pertama kali muncul pada Kol 2:8. Semua peraturan yang dikatakan Paulus pada ayat 16 tidak lain adalah produk dari filsafat jemaat di Kolose yang dihidupi sebagai ajaran turun-temurun. Dengan kata lain, filsafat di sini bukan sekadar ajaran teoretis belaka, melainkan suatu cara hidup yang sudah cukup mendarahdaging dalam diri jemaat.[5] Bagi Paulus, ketika jemaat yang sudah berada dalam kemenangan Kristus masih tunduk pada peraturan-peraturan tersebut, hal itu sama artinya dengan memperbudak diri sendiri dengan perkara-perkara duniawi.
Dengan tegas Paulus mengkritik praktik-praktik filsafat yang dihidupi jemaat di Kolose tersebut. Pada Kol 1:16; 2:10, 14-15, secara jelas ditunjukkan Paulus bahwa filsafat jemaat di Kolose lebih mementingkan ‘pemerintah’ dan ‘penguasa’ dunia serta ‘unsur-unsur dunia’ (Kol 2:8,10,20).[6] Bahkan seperti yang sudah disebutkan di atas, peraturan-peraturan tersebut justru menyoroti persoalan makanan dan minuman atau mengenai hari raya, seperti bulan baru atau sabat baru (Kol 2:16-17). Paulus menegaskan kembali peringatan yang secara tegas ia berikan kepada jemaat, dengan menunjukkan bahwa segala bentuk ketaatan pada peraturan-peraturan seperti yang disebutkan pada ayat 16, hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, yang wujudnya adalah Kristus sendiri (ayat 17). Oleh sebab itu, Paulus menasihati jemaat di Kolose untuk tidak tunduk kepada aneka macam peraturan duniawi.   
Dengan mendasarkan gagasannya pada kemenangan Kristus, Paulus menyerukan supaya jemaat yang sudah berada dalam kemenangan Kristus, selain tidak membiarkan siapa pun menghukum mereka, juga tidak membiarkan kemenangan mereka digagalkan. Hal ini tampak dalam ungkapan ‘Jangankah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan…’ (ayat 18). Pilihan kata yang digunakan di sini adalah ‘digagalkan’ (disqualified/καταβραβεύω/katabrabeuō). Pilihan kata ini lebih menggambarkan konteks suatu pertandingan olah raga di mana ada pihak yang menang dan yang kalah. Kemenangan seseorang dapat saja digagalkan seandainya para pengadil pertandingan mengubah keputusan dengan tidak adil.[7]
Pihak yang dapat menggagalkan kemenangan tidak lain adalah mereka yang digambarkan oleh Paulus sebagai orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat.... (ayat 18). Tindakan pura-pura merendahkan diri menurut Tom Jacobs sebenarnya bermakna menonjolkan diri, karena tujuan mereka adalah demi pemenuhan seperti yang sebelumnya dikatakan dalam Kol 2:9.  Tom menambahkan bahwa dalam teks asli sebenarnya kata ‘pura-pura’ tidak ada, maka yang dimaksud sebenarnya adalah ‘menonjolkan diri’.[8] Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan ini bermacam-macam, termasuk melalui perantara malaikat.[9] Ungkapan ‘beribadah kepada malaikat...’ di sini hendak mengatakan bahwa pihak yang dapat menggagalkan kemenangan jemaat dalam Kristus ialah juga mereka yang melakukan tindakan memohon bantuan kepada malaikat yang berarti tidak mengindahkan Kristus. Sementara itu, banyak perdebatan di antara para ahli berkaitan dengan ungkapan ‘… berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi’. Jemaat di Kolose didorong sekuat mungkin oleh sesuatu yang tidak lebih dari pandangan ekstatis untuk mengejar kemajuan rohani. Mereka yang bergantung pada penglihatan-penglihatan dan sejenisnya menaruh lebih banyak kepercayaan pada kekuatan mental diri sendiri daripada yang semestinya. Inilah yang mengakibatkan kesombongan rohani.[10]
Pada ayat 19, Paulus hendak membuktikan bahwa mereka yang berusaha menyesatkan jemaat di Kolese sudah tidak lagi cocok dengan Kepala. Mereka sudah tidak mementingkan lagi hubungan dengan Kristus yang adalah kepala tubuh-Nya. Dari kepala ini seluruh tubuh dengan semua bagiannya mendapat pertumbuhan dari Allah. Dengan demikian, sudah semestinya seluruh bagian tubuh termasuk urat-urat dan sendi-sendi berada di bawah bimbingan kepala dan bekerja sebagai satu kesatuan. Ini adalah gambaran menarik tentang keesaan hakiki Gereja Kristus. Patut diperhatikan kata ditunjang dan diikat menjadi satu. Kata ditunjang berarti ‘dilengkapi’. Dengan kata lain, supaya tubuh dapat berfungsi sebagai tubuh, harus disiapkan dengan sendi-sendi serta pengikatannya supaya dapat menjamin pertumbuhan yang sehat. Sementara itu, kata diikat berarti ‘bersatu’ dalam kasih.[11]
Paulus melanjutkan argumentasinya atas dasar apa yang akan terjadi jika jemaat di Kolose menyatukan dirinya dengan Kristus dalam kematian-Nya. Ungkapan ‘Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus (ayat 19) harus dibandingkan dengan apa yang tertera dalam Kol 3:1, Karena itu, kalua kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus… Kematian jemaat pengikut Kristus mencakup penghancuran penguasa-penguasa rohani (Kol 2:14-15). Dengan demikian, jemaat pengikut Kristus tidak dapat lagi memandang dunia seolah-olah masih dikuasai oleh roh-roh. Paulus sekali lagi menegaskan supaya jemaat di Kolose tidak goyah. Jika peraturan-peraturan yang diajarkan oleh filsafat Kolose hanya terikat pada hal-hal yang telah ditiadakan oleh Kristus, maka tidak masuk akal kalau jemaat masih tunduk kepadanya.[12]
Pada ayat 21, Paulus menyebut beberapa contoh mengenai peraturan-peraturan yang telah usang, seperti jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini. Peraturan-peraturan itu sangat beraroma Yahudi, Karena larangan-larangan itu termasuk pada hakikatnya Yudaisme.[13] Pada ayat 23, peraturan-peraturan yang dimaksud Paulus tampak penuh hikmat itu mengacu kembali pada larangan-larangan makanan. Paulus menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut terlihat baik karena mencakup tindakan penguasaan diri. Akan tetapi, Paulus menjelaskan bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi. Dalam hal ini, Paulus hendak menjelaskan bahwa meskipun ada peraturan ketat tentang penguasaan diri, larangan-larangan seperti telah disebutkan tidak menyinggung masalah-masalah moral tentang nafsu jasmani.[14]


Relevansi untuk Zaman Sekarang
Surat Paulus kepada jemaat di Kolose yang secara umum berisi nasihat untuk tidak tunduk terhadap ajaran-ajaran palsu ini memiliki relevansi untuk zaman sekarang. Relevansi pertama ialah bagi masyarakat kita secara global. Dunia tempat kita tinggal dewasa ini menawarkan banyak hal yang menuntut kita untuk selalu mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi, seringkali yang jahat justru terselubung dalam bentuk yang seolah-olah baik. Hal ini membuat antara yang baik dan yang jahat ambigu sehingga tidak mengherankan jika banyak orang terjerumus di dalamnya.
Salah satu contoh yang marak terjadi saat ini adalah fenomena munculnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama. Hal yang ada di benak mereka yang tergabung dalam kelompok-kelompok tersebut tentunya adalah keinginan untuk menghidupi dengan penuh semangat iman akan Tuhan secara radikal. Semangat ini dapat disebut sebagai tindakan asketik yang luar biasa supaya mereka dapat merasakan hubungan yang lebih erat dengan Tuhannya. Akan tetapi, cara yang mereka tempuh jelas keliru. Bagaimana mungkin seorang manusia yang ingin beriman pada Tuhan justru menghalalkan darah manusia lainnya? Bagaimana bisa seorang manusia yang ingin beriman pada Tuhan justru bertindak secara keji dengan menyerang kelompok lain yang tidak sepandangan dan bahkan membunuh mereka? Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih tunduk pada ajaran-ajaran palsu yang seolah tampak suci.
Di belakang mereka yang tergabung dalam kelompok radikal ini tentunya ada para pencuci otak yang dapat kita sebut sebagai pengajar ajaran palsu. Semangat keberimanan akan Tuhan, mereka bengkokkan sedemikian rupa sehingga justru menyimpang dari tujuan aslinya. Mereka membangkitkan heroisme kemartiran setiap orang yang potensial bergabung sampai-sampai meyakinkan siapa saja mereka bahwa jika mati demi ajaran agama, maka akan mendapat reward, misalnya akan mendapat bidadari di surga. Dengan demikian, kematian mereka tidak akan sia-sia. Hal ini jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan paham iman yang benar.
Relevansi kedua ialah bagi umat Katolik sendiri. Surat Paulus kepada jemaat di Kolose ini dapat menjadi bahan refleksi setiap umat Katolik yang selama ini masih sering jatuh pada perkara ritus dan liturgi. Dewasa ini seringkali kita jumpai di kalangan umat Katolik sendiri, pandangan konservatif yang mengedepankan ritus dan liturgi. Hal ini membuat umat Katolik sendiri terus-menerus berdebat mengenai perkara jasmani saja, sehingga melupakan hal-hal yang lebih substansial. Paulus menentang perihal fisik karena itu hanyalah unsur duniawi yang tidak lebih penting daripada substansinya. Bagi kita, pandangan Paulus ini dapat menjadi semacam undangan untuk tidak terlalu banyak mengatur hal-hal yang sangat praktis dalam tindakan keberimanan kita.

Daftar Pustaka
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007.

Bergant, Dianne dan Karris, Robert J (Peny.). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Terjemahan dari Hadiwiyata, A.S. (Penj.) The Collegeville Bible Commentary. Minnesota: The Liturgical Press, 1989.

Guthrie, Donald, dkk. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1976. Terjemahan dari Soedarmo (Penj.). The New Bible Commentary. London: Inter-Varsity Press, 1976.

Jacobs, Tom. Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Keck, Leander E. The New Interpreter’s Bible: Volume XI. Nashville: Abingdon Press, 1994. 





[1] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 318.
[2] Dianne Bergant dan Robert J. Karris (peny.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 360.
[3] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 320.
[4] Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1976), hlm. 649.
[5] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 321.
[6] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 327.
[7] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI, (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 632. “The word employed for “disqualify” evokes the image of an umpire ruling against a contestant in a game and thereby depriving that person of any prize.”
[8] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 326-327.
[9] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 327.
[10] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI, hlm. 633. Bdk. Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[11] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI, hlm. 633. Bdk. Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[12] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI, hlm. 633. Bdk. Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu, hlm. 650.
[13] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 326.
[14] Leander E. Keck, The New Interpreter’s Bible: Volume XI, hlm. 633. Bdk. Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu, hlm. 650.

Menguak Sosok Pengarang Injil Yohanes

Menguak Sosok Pengarang Injil Yohanes

A.  Pengantar
Makalah singkat ini memaparkan perdebatan yang berlangsung di antara para ahli dari dua macam komunitas (tradisional dan modern atau Johannine[1]) tentang kepengarangan Injil Yohanes. Berkaitan dengan persoalan kepengarangan ini, Mary E. Andrews, dalam esainya yang berjudul “The Authorship and Significance of the Gospel of John”, mengatakan bahwa setiap perdebatan yang berlangsung di antara para ahli selalu berakhir dengan kebuntuan. Dengan kata lain, setiap komunitas memiliki pandangan yang berbeda dengan yang lainnya sehingga tidak pernah ditarik sebuah kesimpulan utama yang disetujui oleh semua pihak.[2]

B.  Komunitas Tradisional versus Komunitas Johannine
Raymond E. Brown, dalam The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, mencoba mengungkapkan gagasannya yang sedikit banyak berbeda dari pandangan komunitas tradisional tentang siapa sejatinya pengarang Injil Yohanes. Pada bagian pengantar, ia memaparkan pandangan komunitas tradisional yang mengidentifikasi pengarang Injil Yohanes dalam diri seorang yang menyaksikan peristiwa penyaliban Yesus dengan mata kepalanya sendiri (19:35). Sosok tersebut tidak disebutkan namanya secara eksplisit, melainkan hanya disebut sebagai murid yang paling dikasihi Yesus. Salah seorang bapa Gereja, yakni St. Ireneus, yang hidup sekitar tahun 180 M mengidentifikasi sosok murid yang dikasihi ini sebagai Yohanes yang secara historis pernah hidup di Efesus sampai zaman Trajan sekitar tahun 98 M. Selanjutnya, identifikasi murid yang dikasihi dan pengarang Injil sebagai Yohanes (anak Zebedeus) ini diterima oleh hampir seluruh Gereja.[3] Oleh sebab itu, tidak mengherankan seandainya dalam buku liturgi Gereja Katolik Roma sampai hari ini disebutkan bahwa Yohanes adalah pengarang Injil keempat, kitab Wahyu dan tiga surat. Selain itu, dalam buku liturgi juga disebutkan bahwa Yohanes inilah murid yang dikasihi.[4]
Apakah memang sosok murid yang dikasihi menunjuk pada pribadi Yohanes yang merupakan salah satu dari kelompok para rasul? Apakah Yohanes inilah yang mengarang Injil yang sekarang dikenal sebagai Injil Yohanes ini? Inilah yang dipersoalkan oleh para ahli modern yang berpegang pada tradisi Johannine. Menurut Mary E. Andrews, Injil Yohanes sebaiknya dinyatakan sebagai karangan seorang yang memang menjadi saksi mata kehidupan serta pelayanan Yesus. Seandainya Injil Yohanes dinyatakan memang dikarang oleh rasul Yohanes, maka segala sesuatu yang tertulis dalam Injil ini menjadi sangat otentik. Sebaliknya, seandainya dinyatakan bahwa Injil ini dikarang bukan oleh seorang rasul, maka akan muncul kecenderungan untuk merendahkan nilai Injil dan menyangkal kebenaran historis.[5] Pernyataan Mary E. Andrews ini sangat beralasan. Dalam pandangan penulis makalah ini--yang sebelum melakukan kajian pustaka tentang kepengarangan Injil Yohanes ini berasumsi bahwa Injil keempat dikarang oleh rasul Yohanes--seandainya argumen para ahli dari tradisi Johannine dengan segala macam buktinya disampaikan kepada umat, maka ada kemungkinan membuat mereka ragu akan kebenaran nilai Injil Yohanes. Dampak yang paling buruk adalah munculnya perasaan “dibohongi” dalam diri umat, karena Injil yang selama ini mereka yakini mengisahkan tentang kehidupan historis Yesus Kristus, rupanya hanya dikarang oleh orang yang tidak secara langsung memiliki pengalaman hidup bersama dengan Yesus.
Oleh para ahli dari tradisi Johannine, sebagaimana dipaparkan Raymond E. Brown, pandangan komunitas tradisional pada abad ke-2 tentang sosok yang hidup satu abad sebelumnya (Yohanes) ini dirasa terlalu simplistis. Para ahli dari tradisi Johannine mempersoalkan kepengarangan Injil Yohanes yang lebih sering dikaitkan dengan otoritas di belakang tulisan biblis daripada dengan pengarang fisiknya sendiri.[6] Dengan kata lain, persoalan siapa pengarang Injil Yohanes tetap dibiarkan menjadi teka-teki. Sejalan dengan Raymond E. Brown, Adele Reinhartz, dalam karyanya yang berjudul Befriending the Beloved Disciple: A Jewish Reading of the Gospel of John, mengatakan bahwa sebagai salah satu Injil yang dikanonisasi, Injil Yohanes dianggap oleh komunitas-komunitas Kristen selama hampir dua milenium sebagai yang kudus dan memiliki otoritas. Dengan kata lain, Injil Yohanes bukanlah karya fiksi yang hanya merupakan hasil dari imajinasi manusia. Akan tetapi, menurut Adele, Injil ini tetap terbuka untuk dianalisis dengan menggunakan kategori dan metode yang sama dengan yang diterapkan pada karya-karya naratif kuno yang bersifat fiktif.[7]

C.  Siapa Pengarang Injil Yohanes?
Raymond E. Brown secara umum meragukan pandangan komunitas tradisional bahwa Injil Yohanes ditulis oleh seorang yang secara langsung menyaksikan pelayanan Yesus di depan umum. Ia mengatakan bahwa murid yang dikasihi dalam Injil Yohanes bukan menunjuk pada sosok Yohanes--anak Zebedeus, seperti yang diyakini oleh komunitas tradisional. Petunjuk lain yang dapat membantu mengidentifikasi siapakah murid ini dapat dilihat dari kemunculannya dalam kisah. Murid ini muncul ketika tidak ada para rasul (19:26-27). Menurut Raymond E. Brown, hal ini menegaskan bahwa murid ini bukan seorang rasul. Peran murid yang dikasihi ini adalah sebagai saksi Yesus dan sumber tradisi Injil keempat ini.[8] Selanjutnya, Raymond E. Brown memaparkan dua bukti yang kiranya dapat memperjelas siapa pengarang Injil Yohanes, yakni bahwa pengarang dekat dengan Palestina dan juga dengan tradisi Yahudi. 
Pertama, pengarang Injil Yohanes memiliki kedekatan dengan Palestina. Hal ini tampak dalam penggunaan nama-nama tempat yang tidak biasa dalam Injil Yohanes. Menurut Raymond E. Brown, pengarang Injil Yohanes tentunya mengenal nama-nama tempat seperti Betania (11:1,8), taman di seberang sungai Kidron (18:1), serambi Salomo di Bait Allah (10:23), kolam Betesda (5:2), kolam Siloam (9:7) dan Litostrotos (19:13). Adanya pengenalan atas nama-nama tempat tersebut semestinya tidak diabaikan. Tempat-tempat tersebut tidak muncul dalam Injil-Injil yang lain dan ini merupakan bukti eksternal yang mendukung ketepatan penafsiran komunitas Johannine.[9]
Kedua, pengarang Injil Yohanes memiliki kedekatan dengan tradisi Yahudi. Dalam Injil ini, disebutkan berbagai macam pesta Yahudi seperti dalam 5:10 di mana dinyatakan “Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu”; juga dalam 6:4 yang menyatakan “Dan Paskah, hari raya orang Yahudi, sudah dekat”; juga dalam 7:2 “Ketika itu sudah dekat hari raya orang Yahudi, yaitu hari raya Pondok Daun”; dan dalam 10:22 “Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di Yerusalem; ketika itu musim dingin”. Dialog yang menyertai ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan pengetahuan pengarang Injil tentang upacara dan teologi yang bernuansa pesta. Kebiasaan-kebiasaan Yahudi disebutkan secara eksplisit dalam peraturan pembasuhan (2:6; 19:28); anak domba paskah (19:36) dan secara implisit tentang jubah imam besar (19:24).[10]
Dua hal tersebut di ataslah yang menurut Raymond E. Brown mencirikan pengarang Injil Yohanes, dan ini tidak mengacu pada sosok rasul Yohanes. Seandainya tradisi yang melingkupi Yohanes berakar kuat di Palestina, pemaparan tentang tradisi tersebut telah melampaui pelayanan Yesus. Dengan kata lain, penggambaran naratif dalam Injil Yohanes menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi jauh sesudah Yesus. Pengarang Injil sangat memahami kenyataan yang melampaui pelayanan Yesus ini (2:22) dan mempertahankan perkembangan Injil sebagaimana diarahkan oleh Roh Kebenaran (16:12-14). Pada waktu itu, orang-orang Kristen diusir dari sinagoga (9:22) karena kebijakan Yahudi yang melawan sektarian telah dimulai pada pertengahan tahun 80-an dan semakin meluas pada awal 100-an. Orang-orang Kristen dibunuh oleh orang yang menyangka berbuat bakti kepada Allah (16:2). Akibatnya, Yahudi menjadi kelompok yang terpisah dari orang-orang Kristen, dan sangat tidak disukai; dan Yesus berbicara sebagai seorang yang bukan Yahudi, “Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu... .” (10:34); “... dalam kitab Taurat mereka... .” (15:25);  “... seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi.” (13:33). Tidak seperti Yesus yang digambarkan dalam Injil-Injil sinoptik, Yesus dalam Injil Yohanes berbicara secara eksplisit tentang keilahian dan pra-eksistensinya (8:58; 10:10-38; 14-9; 17:5). Ia disebut sebagai Tuhan (20:28); juga pertentangannya dengan “orang-orang Yahudi” tidak hanya soal pelanggaran atas peraturan-peraturan hari Sabat tetapi juga soal tindakan menyamakan diri-Nya dengan Tuhan (5:16-18). Tindakan-tindakan tradisional Yesus, seperti menggandakan roti dan menyembuhkan orang buta, telah menjadi subyek homili panjang yang mencakup refleksi dan perdebatan teologis dalam penafsiran kitab Yahudi (5:30-47; 6:30-50; 9:26-34). Tidak seperti tradisi sinoptik, kelompok Samaria digambarkan telah percaya pada Yesus tidak tergantung pada para pegikut Yesus yang pertama (4:28-40).[11]
Perkembangan semacam ini hanya dapat dijelaskan seandainya tradisi tentang Yesus yang berasal dari murid yang dikasihi-Nya telah direfleksikan selama bertahun-tahun dan telah diperluas dalam terang pengalaman komunitas Johannine. Tradisi ini mulai dengan penerimaan Yesus sebagai nabi terakhir dan Mesias yang dinantikan oleh orang-orang Yahudi (1:40-49), tetapi sudah melampaui “hal-hal besar” ini (1:50). Yesus bukan hanya Anak Manusia yang akan turun dari surga pada akhir zaman; waktunya sudah tiba sekarang dan Ia telah turun dari surga. Inilah rahasia pelayanannya: yang Ia katakan dan lakukan ialah yang Ia saksikan ketika Ia bersama Tuhan sebelum Sabda menjadi daging (5:19; 6:32-35). Seandainya para pengajar Israel percaya bahwa Musa yang menyatakan diri berkomunikasi dengan Tuhan di Sinai dan mengulang apa yang ia dengar di sana, Yesus adalah seorang yang tidak harus pergi ke surga, tetapi datang dari atas di mana ia sendiri melihat Tuhan, sehingga siapa pun yang percaya pada-Nya tidak pernah dihakimi (3:10-21). Mudah untuk berspekulasi bahwa orang-orang Samaria mengembangkan pandangan Yesus ini sebagai tokoh yang seperti Anak Manusia yang turun, tetapi lebih daripada Musa, para lawan Yesus dalam Injil Yohanes yang adalah orang-orang Yahudi menganggap-Nya sebagai seorang Samaria (8:48).[12]
Dengan demikian, jelas bahwa pengarang Injil Yohanes tidak mungkin menjadi saksi mata kehidupan Yesus secara langsung seperti yang diyakini oleh komunitas tradisional. Pengarang Injil ini tentunya hidup jauh sesudah Yesus. Seorang pengarang Injil yang mengarang tradisi yang secara teologis direfleksikan ke dalam sebuah karya dengan keterampilan sastra yang khas ini menurut Raymond E. Brown adalah “murid dari murid yang dikasihi” yang tentangnya, ia menulis dalam sudut pandang orang ketiga. Murid yang dikasihi hidup pada zaman perkembangan historis komunitas (dan barangkali pada saat pengusiran dari sinagoga), dan relasi tertentu antara ia dan Injil yang mengisahkan tradisi dan pengalaman serta refleksinya yang ia bagikan.[13]














Daftar Pustaka
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007.

Andrews, Mary E. “The Authorship and Significance of the Gospel of John”. Dalam Journal of Biblical Literature,. Vol. 64. No. 2 (Jun. 1945). PP. 183-192 (Atlanta: The Society of Biblical Literature <http://www.jstor.org/stable/3262441>). Diunduh pada 15 Maret 2017, pukul 00.35 WIB.

Brown, Raymond E. The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary. Minnesota: The Liturgical Press, 1988.

Mark dan Primavesi, Anne (Il.). The Weekday Missal. London: HarperCollinsReligious, 1982.

Reinhartz, Adele. Befriending the Beloved Disciple: A Jewish Reading of the Gospel of John. New York: Continuum, 2005.



















[1] Penulis makalah tidak menemukan padanan kata yang paling tepat untuk menunjuk istilah “Johannine”. Yang jelas ini adalah kelompok atau komunitas yang memiliki pandangan berbeda dengan kelompok tradisional. Untuk seterusnya, dalam makalah ini, penulis tetap mempertahankan istilah bahasa Inggris “Johannine”.  
[2] Mary E. Andrews, “The Authorship and Significance of the Gospel of John”, dalam Journal of Biblical Literature, Vol. 64, No. 2 (Jun., 1945), pp. 183-192 (Atlanta: The Society of Biblical Literature <http://www.jstor.org/stable/3262441>). “He believed that the final truth of the historical narratives of John was in no way decided through this Gospel’s authenticity, noting that its most faithful interpreters felt the author’s subjectivity in the discourses of Jesus.”
[3] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary (Minnesota: The Liturgical Press, 1988), hlm. 9. “The Gospel calls attention to an eyewitness at the cross (19:35) who is the disciple whom Jesus loved (19:26).”
[4] Mark dan Anne Primavesi (il.), The Weekday Missal (London: HarperCollinsReligious, 1982), hlm. 1841. “The author of the Fourth Gospel, the Apocalypse, and three Epistles... . He is the ‘beloved disciple’ referred to in the Gospels”
[5] Mary E. Andrews, “The Authorship and Significance of the Gospel of John”, hlm. 183. “If it were apostolic, the author had been an eyewitness of the life of Jesus, his report was really authentic, and as an intimate disciple of Jesus his Gospel must be given preference over the others. But if criticism posited a non-apostolic author, the tendency was to lower the value of the Gospel, to deny its historical truth... .”
[6] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 9. “Today, it is recognised that such late second-century surmises about figures who had lived a century before were often simplified... .”
[7] Adele Reinhartz, Befriending the Beloved Disciple: A Jewish Reading of the Gospel of John, (New York: Continuum, 2005), hlm. 19. “As one of the four canonical Gospels, the Gospel of John has been considered sacred and authoritative by Christian communities for nearly two millennia; like other canonical texts, it is not seen by those communities as fiction, that is, as a product of the human imagination. But as many modern exegetes have recognized, this Gospel, like other ancient narratives, is open to analysis using the same categories and methods that are applied to works that are explicitly fictive.”
[8] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 10.
[9] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 10.
[10] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 10.
[11] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 10.
[12] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 11.
[13] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise Commentary, hlm. 11.