Menguak Sosok Pengarang Injil Yohanes
A. Pengantar
Makalah singkat ini memaparkan perdebatan yang
berlangsung di antara para ahli dari dua macam komunitas (tradisional
dan modern atau Johannine[1])
tentang kepengarangan Injil
Yohanes. Berkaitan dengan persoalan kepengarangan ini, Mary E.
Andrews, dalam esainya yang berjudul “The Authorship and Significance of the
Gospel of John”, mengatakan bahwa setiap perdebatan yang berlangsung di antara
para ahli selalu berakhir dengan kebuntuan. Dengan kata lain, setiap komunitas
memiliki pandangan yang berbeda dengan yang lainnya sehingga tidak pernah
ditarik sebuah kesimpulan utama yang disetujui oleh semua pihak.[2]
B. Komunitas
Tradisional versus Komunitas Johannine
Raymond
E. Brown, dalam The Gospel and Epistles
of John: A Concise Commentary, mencoba mengungkapkan gagasannya yang
sedikit banyak berbeda dari pandangan komunitas tradisional tentang siapa
sejatinya pengarang Injil Yohanes. Pada bagian pengantar, ia memaparkan
pandangan komunitas tradisional yang mengidentifikasi pengarang Injil Yohanes
dalam diri seorang yang menyaksikan peristiwa penyaliban Yesus dengan mata
kepalanya sendiri (19:35). Sosok tersebut tidak disebutkan namanya secara
eksplisit, melainkan hanya disebut sebagai murid yang paling dikasihi Yesus.
Salah seorang bapa Gereja, yakni St.
Ireneus, yang hidup sekitar tahun 180 M mengidentifikasi sosok murid yang dikasihi ini sebagai Yohanes yang secara
historis pernah hidup di
Efesus sampai zaman Trajan sekitar
tahun 98 M. Selanjutnya, identifikasi murid yang dikasihi dan pengarang Injil sebagai Yohanes (anak Zebedeus)
ini diterima oleh hampir
seluruh Gereja.[3]
Oleh sebab itu, tidak mengherankan seandainya dalam buku liturgi Gereja Katolik
Roma sampai hari ini disebutkan bahwa Yohanes adalah pengarang Injil keempat,
kitab Wahyu dan tiga surat. Selain itu, dalam buku liturgi juga disebutkan
bahwa Yohanes inilah murid yang dikasihi.[4]
Apakah
memang sosok murid yang dikasihi menunjuk pada pribadi Yohanes yang merupakan salah
satu dari kelompok para rasul? Apakah Yohanes inilah yang mengarang Injil yang
sekarang dikenal sebagai Injil Yohanes ini? Inilah yang dipersoalkan oleh para
ahli modern yang berpegang pada tradisi Johannine.
Menurut Mary E. Andrews, Injil Yohanes sebaiknya dinyatakan sebagai karangan
seorang yang memang menjadi saksi mata kehidupan serta pelayanan Yesus.
Seandainya Injil Yohanes dinyatakan memang dikarang oleh rasul Yohanes, maka
segala sesuatu yang tertulis dalam Injil ini menjadi sangat otentik. Sebaliknya,
seandainya dinyatakan bahwa Injil ini dikarang bukan oleh seorang rasul, maka
akan muncul kecenderungan untuk merendahkan nilai Injil dan menyangkal
kebenaran historis.[5]
Pernyataan Mary E. Andrews ini sangat beralasan. Dalam pandangan penulis
makalah ini--yang sebelum melakukan kajian pustaka tentang kepengarangan Injil
Yohanes ini berasumsi bahwa Injil keempat dikarang oleh rasul Yohanes--seandainya
argumen para ahli dari tradisi Johannine dengan
segala macam buktinya disampaikan kepada umat, maka ada kemungkinan membuat mereka
ragu akan kebenaran nilai Injil Yohanes. Dampak yang paling buruk adalah
munculnya perasaan “dibohongi” dalam diri umat, karena Injil yang selama ini
mereka yakini mengisahkan tentang kehidupan historis Yesus Kristus, rupanya
hanya dikarang oleh orang yang tidak secara langsung memiliki pengalaman hidup
bersama dengan Yesus.
Oleh
para ahli dari tradisi Johannine, sebagaimana
dipaparkan Raymond E. Brown, pandangan komunitas tradisional pada abad ke-2 tentang sosok yang hidup satu abad sebelumnya (Yohanes)
ini dirasa terlalu simplistis. Para ahli dari tradisi Johannine mempersoalkan kepengarangan Injil Yohanes yang lebih sering dikaitkan dengan otoritas di belakang tulisan biblis daripada dengan pengarang
fisiknya sendiri.[6]
Dengan
kata lain, persoalan siapa pengarang Injil Yohanes tetap dibiarkan menjadi
teka-teki. Sejalan dengan Raymond E. Brown, Adele Reinhartz, dalam karyanya
yang berjudul Befriending the Beloved
Disciple: A Jewish Reading of the
Gospel of John, mengatakan
bahwa sebagai salah satu Injil yang dikanonisasi, Injil Yohanes dianggap oleh
komunitas-komunitas Kristen selama hampir dua milenium sebagai yang kudus dan
memiliki otoritas. Dengan kata lain, Injil Yohanes bukanlah karya fiksi yang
hanya merupakan hasil dari imajinasi manusia. Akan tetapi, menurut Adele, Injil
ini tetap terbuka untuk dianalisis dengan menggunakan kategori dan metode yang
sama dengan yang diterapkan pada karya-karya naratif kuno yang bersifat fiktif.[7]
C. Siapa Pengarang
Injil Yohanes?
Raymond E. Brown secara
umum meragukan pandangan komunitas tradisional bahwa Injil Yohanes ditulis oleh
seorang yang secara langsung menyaksikan pelayanan Yesus di depan umum. Ia
mengatakan bahwa murid yang dikasihi dalam Injil Yohanes bukan menunjuk pada
sosok Yohanes--anak Zebedeus, seperti yang diyakini oleh komunitas tradisional.
Petunjuk lain yang dapat membantu mengidentifikasi siapakah murid ini dapat
dilihat dari kemunculannya dalam kisah. Murid ini muncul ketika tidak ada para
rasul (19:26-27). Menurut Raymond E. Brown, hal ini menegaskan bahwa murid ini bukan
seorang rasul. Peran murid yang dikasihi ini adalah sebagai saksi Yesus dan
sumber tradisi Injil keempat ini.[8] Selanjutnya,
Raymond E. Brown memaparkan dua bukti yang kiranya dapat memperjelas siapa
pengarang Injil Yohanes, yakni bahwa pengarang dekat dengan Palestina dan juga
dengan tradisi Yahudi.
Pertama,
pengarang Injil Yohanes memiliki kedekatan dengan Palestina. Hal ini tampak
dalam penggunaan nama-nama tempat yang tidak biasa dalam Injil Yohanes. Menurut
Raymond E. Brown, pengarang Injil Yohanes tentunya mengenal nama-nama tempat
seperti Betania (11:1,8), taman di seberang sungai Kidron (18:1), serambi
Salomo di Bait Allah (10:23), kolam
Betesda (5:2), kolam Siloam
(9:7) dan Litostrotos (19:13).
Adanya pengenalan atas nama-nama tempat tersebut semestinya tidak diabaikan.
Tempat-tempat tersebut tidak muncul dalam Injil-Injil yang lain dan ini
merupakan bukti eksternal yang mendukung ketepatan penafsiran komunitas Johannine.[9]
Kedua,
pengarang Injil Yohanes memiliki kedekatan dengan tradisi Yahudi. Dalam Injil
ini, disebutkan berbagai macam pesta Yahudi seperti dalam 5:10 di mana
dinyatakan “Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu”; juga dalam 6:4
yang menyatakan “Dan Paskah, hari raya orang Yahudi, sudah dekat”; juga dalam 7:2 “Ketika itu sudah dekat hari raya orang
Yahudi, yaitu hari raya Pondok Daun”;
dan dalam 10:22 “Tidak lama kemudian
tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah
di Yerusalem; ketika itu musim dingin”. Dialog yang menyertai
ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan pengetahuan pengarang Injil tentang
upacara dan teologi yang bernuansa pesta. Kebiasaan-kebiasaan Yahudi disebutkan
secara eksplisit dalam peraturan pembasuhan (2:6; 19:28); anak domba paskah (19:36)
dan secara implisit tentang jubah imam besar (19:24).[10]
Dua
hal tersebut di ataslah yang menurut Raymond E. Brown mencirikan pengarang
Injil Yohanes, dan ini tidak mengacu pada sosok rasul Yohanes. Seandainya
tradisi yang melingkupi Yohanes berakar kuat di Palestina, pemaparan tentang
tradisi tersebut telah melampaui pelayanan Yesus. Dengan kata lain,
penggambaran naratif dalam Injil Yohanes menunjukkan bahwa peristiwa itu
terjadi jauh sesudah Yesus. Pengarang Injil sangat memahami kenyataan yang
melampaui pelayanan Yesus ini (2:22) dan mempertahankan perkembangan Injil
sebagaimana diarahkan oleh Roh Kebenaran (16:12-14). Pada waktu itu, orang-orang
Kristen diusir dari sinagoga (9:22) karena kebijakan Yahudi yang melawan sektarian
telah dimulai pada pertengahan tahun 80-an dan semakin meluas pada awal 100-an.
Orang-orang Kristen dibunuh oleh orang yang menyangka berbuat bakti kepada
Allah (16:2). Akibatnya, Yahudi menjadi kelompok yang terpisah dari orang-orang
Kristen, dan sangat tidak disukai; dan Yesus berbicara sebagai seorang yang
bukan Yahudi, “Tidakkah ada tertulis
dalam kitab Taurat kamu... .” (10:34); “...
dalam kitab Taurat mereka... .” (15:25); “... seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi.” (13:33).
Tidak seperti Yesus yang digambarkan dalam Injil-Injil sinoptik, Yesus dalam
Injil Yohanes berbicara secara eksplisit tentang keilahian dan
pra-eksistensinya (8:58; 10:10-38; 14-9; 17:5). Ia disebut sebagai Tuhan
(20:28); juga pertentangannya dengan “orang-orang
Yahudi” tidak hanya soal pelanggaran atas peraturan-peraturan hari Sabat
tetapi juga soal tindakan menyamakan diri-Nya dengan Tuhan (5:16-18).
Tindakan-tindakan tradisional Yesus, seperti menggandakan roti dan menyembuhkan
orang buta, telah menjadi subyek homili panjang yang mencakup refleksi dan
perdebatan teologis dalam penafsiran kitab Yahudi (5:30-47; 6:30-50; 9:26-34).
Tidak seperti tradisi sinoptik, kelompok Samaria digambarkan telah percaya pada
Yesus tidak tergantung pada para pegikut Yesus yang pertama (4:28-40).[11]
Perkembangan
semacam ini hanya dapat dijelaskan seandainya tradisi tentang Yesus yang berasal
dari murid yang dikasihi-Nya telah direfleksikan selama bertahun-tahun dan
telah diperluas dalam terang pengalaman komunitas Johannine. Tradisi ini mulai dengan penerimaan Yesus sebagai nabi
terakhir dan Mesias yang dinantikan oleh orang-orang Yahudi (1:40-49), tetapi
sudah melampaui “hal-hal besar” ini
(1:50). Yesus bukan hanya Anak Manusia yang akan turun dari surga pada akhir
zaman; waktunya sudah tiba sekarang dan Ia telah turun dari surga. Inilah
rahasia pelayanannya: yang Ia katakan dan lakukan ialah yang Ia saksikan ketika
Ia bersama Tuhan sebelum Sabda menjadi daging (5:19; 6:32-35). Seandainya para
pengajar Israel percaya bahwa Musa yang menyatakan diri berkomunikasi dengan
Tuhan di Sinai dan mengulang apa yang ia dengar di sana, Yesus adalah seorang
yang tidak harus pergi ke surga, tetapi datang dari atas di mana ia sendiri
melihat Tuhan, sehingga siapa pun yang percaya pada-Nya tidak pernah dihakimi
(3:10-21). Mudah untuk berspekulasi bahwa orang-orang Samaria mengembangkan
pandangan Yesus ini sebagai tokoh yang seperti Anak Manusia yang turun, tetapi
lebih daripada Musa, para lawan Yesus dalam Injil Yohanes yang adalah orang-orang
Yahudi menganggap-Nya sebagai seorang Samaria (8:48).[12]
Dengan
demikian, jelas bahwa pengarang Injil Yohanes tidak mungkin menjadi saksi mata
kehidupan Yesus secara langsung seperti yang diyakini oleh komunitas
tradisional. Pengarang Injil ini tentunya hidup jauh sesudah Yesus. Seorang
pengarang Injil yang mengarang tradisi yang secara teologis direfleksikan ke
dalam sebuah karya dengan keterampilan sastra yang khas ini menurut Raymond E.
Brown adalah “murid dari murid yang
dikasihi” yang tentangnya, ia menulis dalam sudut pandang orang ketiga.
Murid yang dikasihi hidup pada zaman perkembangan historis komunitas (dan
barangkali pada saat pengusiran dari sinagoga), dan relasi tertentu antara ia
dan Injil yang mengisahkan tradisi dan pengalaman serta refleksinya yang ia
bagikan.[13]
Daftar Pustaka
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007.
Andrews, Mary E. “The
Authorship and Significance of the Gospel of John”. Dalam Journal of Biblical Literature,. Vol. 64. No. 2 (Jun. 1945). PP.
183-192 (Atlanta: The Society of Biblical Literature <http://www.jstor.org/stable/3262441>).
Diunduh pada 15 Maret 2017, pukul 00.35 WIB.
Brown, Raymond E. The Gospel and Epistles of John: A Concise
Commentary. Minnesota: The Liturgical Press, 1988.
Mark
dan Primavesi, Anne (Il.). The Weekday Missal. London:
HarperCollinsReligious, 1982.
Reinhartz, Adele. Befriending
the Beloved Disciple: A Jewish Reading of the Gospel of John. New York: Continuum, 2005.
[1] Penulis makalah tidak menemukan
padanan kata yang paling tepat untuk menunjuk istilah “Johannine”. Yang jelas ini adalah kelompok atau komunitas yang
memiliki pandangan berbeda dengan kelompok tradisional. Untuk seterusnya, dalam
makalah ini, penulis tetap mempertahankan istilah bahasa Inggris “Johannine”.
[2] Mary E. Andrews, “The Authorship
and Significance of the Gospel of John”, dalam Journal of Biblical Literature, Vol. 64, No. 2 (Jun., 1945), pp.
183-192 (Atlanta: The Society of Biblical Literature <http://www.jstor.org/stable/3262441>).
“He believed that the final truth of the historical narratives of John was in
no way decided through this Gospel’s authenticity, noting that its most
faithful interpreters felt the author’s subjectivity in the discourses of
Jesus.”
[3] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise
Commentary (Minnesota: The Liturgical Press, 1988), hlm. 9. “The Gospel
calls attention to an eyewitness at the cross (19:35) who is the disciple whom
Jesus loved (19:26).”
[4] Mark dan Anne Primavesi (il.), The Weekday Missal (London:
HarperCollinsReligious, 1982), hlm. 1841.
“The author of the Fourth Gospel, the Apocalypse, and three Epistles... .
He is the ‘beloved disciple’ referred to in the Gospels”
[5] Mary E. Andrews, “The Authorship
and Significance of the Gospel of John”, hlm. 183. “If it were apostolic, the
author had been an eyewitness of the life of Jesus, his report was really
authentic, and as an intimate disciple of Jesus his Gospel must be given preference
over the others. But if criticism posited a non-apostolic author, the tendency
was to lower the value of the Gospel, to deny its historical truth... .”
[6] Raymond E. Brown, The Gospel and Epistles of John: A Concise
Commentary, hlm. 9. “Today, it is recognised that such late second-century
surmises about figures who had lived a century before were often simplified...
.”
[7] Adele Reinhartz, Befriending
the Beloved Disciple: A Jewish Reading of the Gospel of John, (New York: Continuum, 2005), hlm. 19. “As
one of the four canonical Gospels, the Gospel of John has been considered
sacred and authoritative by Christian communities for nearly two millennia;
like other canonical texts, it is not seen by those communities as fiction,
that is, as a product of the human imagination. But as many modern exegetes
have recognized, this Gospel, like other ancient narratives, is open to
analysis using the same categories and methods that are applied to works that
are explicitly fictive.”
No comments:
Post a Comment