Tuesday, 7 January 2014

Peran Gereja Katolik dalam Menghadapi Persoalan Pluralisme di Indonesia

PERAN GEREJA KATOLIK
DALAM MENGHADAPI PERSOALAN PLURALISME
DI INDONESIA

A.        Pendahuluan
Gereja Katolik di Indonesia yang hanya berjumlah kecil dibandingkan seluruh warga negara harus mampu menghadapi persoalan negara yang semakin rumit, terutama persoalan pluralisme. Indonesia merupakan sebuah negara yang plural dan di dalamnya terdapat berbagai macam suku, budaya dan agama. Keaneka-ragaman tersebut seharusnya merupakan kekayaan bangsa di mana masyarakat yang hidup di dalamnya dapat saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, pluraritas bangsa ini justru sering menimbulkan berbagai macam persoalan dan konflik.
Persoalan dan konflik itu dapat dilihat dari berbagai macam kasus kekerasan dengan mengatas-namakan agama yang sampai sejauh ini terjadi.[1] Misalnya: Kasus perusakan gedung Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik di Temanggung pada tahun 2011[2] dan penolakan terhadap Susan Jasmine seorang lurah Lenteng Agung, Jakarta yang beragama Kristen Protestan oleh Front Pembela Islam (FPI)[3]. Seandainya beberapa persoalan itu muncul hanya disebabkan oleh masalah agama, hal ini jelas sangat disayangkan karena dapat mempengaruhi stabilitas dan integritas nasional.
Dalam ajaran Teologi Gereja menurut Konsili Vatikan II, Gereja Katolik diharapkan mampu terlibat dalam mengatasi tantangan zaman dewasa ini seperti fundamentalisme segala asal-usul, primordialisme, kesempitan doktriner dan ideologis.[4] Secara khusus dalam konteks negara Indonesia adalah persoalan pluralisme. Tulisan ini hendak memaparkan persoalan pluralisme secara umum yang terjadi di Indonesia dan juga peran Gereja Katolik yang terdiri dari hierarki dan awam dalam menghadapi persoalan pluralisme di Indonesia.
B.        Persoalan Pluralisme di Indonesia
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk.[5] Hal ini sering bersangkutan dengan sistem sosial dan politik. Selain bersangkutan dengan sistem sosial dan politik, pluralisme dapat dilihat pula dari segi keaneka-ragaman suku, ras, agama dan budaya. Seluruh umat manusia di dunia diciptakan beraneka-ragam. Dalam keaneka-ragaman tersebut, mereka berusaha membangun relasi sosial dengan sesamanya.
Dalam keadaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, sering kali terjadi persoalan konflik antarkelompok yang dipicu oleh masalah suku, budaya atau ekonomi. Tentu saja masih teringat jelas kasus tragedi Sampit pada tahun 2001 yang melibatkan suku Madura dengan suku Dayak. Barangkali semua itu disebabkan oleh ketidakdewasaan masyarakat Indonesia dalam berpikir. Bertitik-tolak dari tragedi Sampit, kita dapat menarik benang merah bahwa akal sehat sudah tidak mampu lagi dimiliki oleh masyarakat yang telah dibutakan oleh pandangan sempit pluralisme.
Persoalan pluralisme sosial semacam itu sangat mempengaruhi stabilitas dan integritas nasional[6]. Dahulu, para pahlawan berjuang dengan keras tanpa memandang perbedaan karena mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Semangat juang pasukan gerilya Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur melawan Belanda sekitar tahun 1825-1830 sama dengan semangat Kapitan Pattimura sekitar tahun 1817 di Saparua melawan Belanda. Tidak ada tembok-tembok pemisahan suku, agama maupun budaya yang menjadi penghambat dalam perjuangan mereka. Akan tetapi, saat ini dalam konteks negara Indonesia yang merdeka, justru kita sendiri yang berperang satu-sama lain. Tentu saja, situasi semacam ini jauh dari apa yang dinamakan stabilitas dan integritas nasional.
Agama merupakan salah salah satu faktor yang sering dijadikan kambing hitam terhadap adanya konflik antarkelompok. Para pemeluk agama tertentu bahkan sering membentuk semacam kelompok radikal untuk membela agamanya dengan cara apapun, bahkan jika perlu menghancurkan agama lain. Sebagai contoh, kita bisa melihat kasus penganiayaan penganut Ahmadiyah dan Syiah[7]. Adanya kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut seolah-olah menghilangkan nilai keluhuran sebuah ajaran kebaikan dari setiap agama.
C.        Peran Gereja Katolik dalam Menghadapi Persoalan Pluralisme di Indonesia[8]
Di tengah-tengah masyarakat yang plural dan penuh dengan aneka macam persoalan pluralisme tersebut, Gereja hidup dan berkarya. Yang dimaksud dengan Gereja ialah mereka yang berkehendak untuk menjiwai Roh Yesus yang menguduskan dunia, yakni para hierarki (Imam tertahbis) dan awam.
Dalam rangka menggerakkan peran Gereja dalam mengatasi keadaan chaos negara Indonesia ini menjadi keadaan cosmos, dibutuhkan kerja sama yang baik antara hierarki dan awam Katolik.[9] Pihak hierarki sebagai pemimpin Gereja diharapkan mampu merangkul para awam Katolik. Selain itu, para awam juga saling menyumbangkan ide dan keahlian mereka untuk membantu Gereja dalam upaya menjadi garam dan terang bagi negara Indonesia. Adanya sinergi yang baik antara hierarki dan awam akan memperkuat Gereja dalam mengembangkan misinya di Indonesia yang dijiwai oleh Roh Yesus.

            1. Peran Hierarki
            Di Indonesia, peran hierarki dalam menghadapi pluralisme umumnya masih dalam taraf pikiran. Sebagain besar dari para pastor di sejumlah paroki dan keuskupan selalu memiliki gagasan yang baik dalam rangka menyumbangkan sesuatu bagi bangsa dan negara. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka lebih sering menutup diri di dalam lingkungan Gereja saja. Dengan kata lain, ada rasa enggan untuk keluar dari zona nyaman dengan cara menjalin relasi dengan masyarakat sekitar yang berbeda agama, para aparat pemerintahan dan lain-lain.
            Cara paling efektif yang dapat dilakukan oleh para hierarki dalam menghadapi persoalan pluralisme ialah dengan terjun langsung dengan masyarakat, juga dengan para aparat pemerintahan. Bagaimana mungkin identitas Gereja yang diwakili oleh para hierarki dapat di kenal oleh masyarakat, jika para hierarki enggan untuk membaur. Akibat buruknya ialah Gereja tidak akan mampu menyebarkan ajaran iman kepada masyarakat dan bersaksi di tengah-tengah mereka, jikalau keberadaan mereka saja masih berjarak dengan masyarakat.
            Oleh sebab itu, hendaknya para hierarki terutama mereka yang bekerja di paroki-paroki mencoba membuka diri, bergaul, berdiskusi dan bekerjasama dengan masyarakat sekitar tempat tinggal dan tidak mengambil jarak dengan mereka.  Itu baru sebuah langkah awal untuk terjun secara utuh ke dalam lingkup negara. Setelah mampu untuk membaur dan berelasi dengan baik, barulah sedikit demi sedikit memberikan pengaruh yang baik bagi negara Indonesia. 
           
            2. Peran Awam         
            Konsili Vatikan II menegaskan bahwa pada masa kini, peran kaum awam harus lebih diutamakan, karena jumlah mereka jauh lebih besar daripada jumlah para hierarki di dalam Gereja Katolik. Gereja bukan pertama-tama hierarki; para uskup dan pastor, melainkan seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Oleh sebab itulah, perutusan Gereja untuk menjadi saksi Kristus juga menjadi perutusan para awam. Dengan kata lain, para awam dipanggil untuk menyampaikan cinta kasih dan keadilan Allah kepada masyarakat pada umumnya.
            Dalam konteks zaman yang seperti sekarang ini, sangatlah mustahil jika para hierarki berjuang sendiri dalam menghadapi persoalan yang tidak mudah ini, yakni pluralisme. Maka dari itu, partisipasi para awam sangat dibutuhkan untuk mendukung karya Kristus di dunia melalui Gereja Katolik ini. Ini bukan perkara mudah tetapi tidak mustahil untuk dilakukan, karena para awam Katolik di Indonesia memiliki potensi yang dapat disumbangkan untuk kebaikan negara.
Sebagian besar dari kaum awam bahkan adalah para cendikiawan di mana mereka mempunyai keahlian tertentu dalam bidangnya masing-masing. Dalam konteks zaman ini, Gereja Katolik sangat kaya akan jumlah cendikiawan awam Katolik. Akan tetapi, dengan keahlian-keahlian tersebut, mereka justru sering jatuh dalam perselisihan, persaingan dan keinginan untuk dianggap paling hebat. Akibatnya mereka akan bekerja sendiri-sendiri. Sangat disayangkan, jikalau mereka justru lebih mementingkan diri sendiri dan berselisih satu sama lain. Akan menjadi lebih baik dan bijaksana jika mereka turut serta menyumbangkan keahlian-keahlian mereka itu kepada negara.
Maka, harus ada kesadaran diri para awam bahwa mereka adalah rasul-rasul yang diutus untuk mewartakan Injil kepada segala makhluk di manapun. Kesadaran itu hendaknya juga mendorong sesama awam untuk bersinergi satu sama lain dalam wadah Gereja demi negara Indonesia.

D.        Penutup
Gereja berkarya bukan hanya dalam rangka menyelamatkan umat Katolik dan acuh tak acuh terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya. Ajaran Konsili Vatikan II menyebutkan daya penyelamatan Allah di dunia diperuntukkan bagi semua orang. Gereja Katolik di Indonesia hanyalah sebagaian kecil dari seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dengan menghayati ajaran Konsili Vatikan II dan menyadari eksistensi kita di dunia ini ialah diutus menjadi rasul-rasul Kristus di dunia, hendaknya dalam jumlah yang kecil ini, kita memberikan pengaruh yang besar terhadap bangsa dan negara yakni menghadapi persoalan pluralisme.

Daftar Pustaka
A’la, Abd. “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama.” In Melalui Dialog Agama, edited by Qamaruddin SF, 27-34. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Pustaka, 2000.

Siwi, Antonius. “Peran Hierarki dan Awam Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di Indonesia.” Paper presented at the Class Presentation, Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia, July 25, 2012.

Sumardjo, Jacob. “Mandala Gereja di Tanah Sunda.” In Iman, Ilmu dan Budaya, edited by  Felly Kama, dkk., 33-39. Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001.

Suseno, Magnis. “Cendikiawan Katolik dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk.” In Iman, Ilmu dan Budaya edited by Felly Kama, dkk, 110-116. Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001.

Sumber-Sumber Lain
Belarminus, Robertus. “FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013.” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.35 WIB)

Ihsanuddin, “Penganut Syiah: Jika Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013.” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh. (diakses tanggal 15 November 2013, pukul 17.35 WIB)

Rukmorini, Regina. “Tiga Gereja Dirusak Massa, 2011.” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150 (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.30 WIB)





[1]Abd A’la, “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama,” in Melampaui Dialog Agama, ed.  Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 33-40.
[2] Regina Rukmorini, “Tiga Gereja Dirusak Massa, 2011,” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150
[3] Robertus Belarminus, “FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013,” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati
[4] Magnis Suseno, “Cendikiawan Katolik dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk” in  Iman, Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama, dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 110-116.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta:  Balai Pustaka, 2000), 883.
[6] Abd A’la, “Pertikaian Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama” in Melampaui Dialog Agama, ed. Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 27-34.
[7]Ihsanuddin, “Penganut Syiah: Jika Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013,” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh.
[8] Antonius Siwi, “Peran Hierarki dan Awam Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di Indonesia,” (paper presented at the Class Presentation, Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia, July 25, 2012).
[9] Jacob Sumardjo, “Mandala Gereja di Tanah Sunda” in  Iman, Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama, dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 33-39. 

Abad Pertengahan

Abad Pertengahan[1]

A.            Awal Abad Pertengahan (476-1054)
Istilah awal abad pertengahan dipakai untuk menempatkan kurun waktu antara 476-1054 pada waktu terjadi perpecahan Gereja antara Gereja Barat[2] dan Gereja Timur[3]. Hal ini mengakibatkan bangkitnya penguasa-penguasa di wilayah “bekas” kekaisaran Roma. Adanya serangan dari kelompok Barbar membuat kekaisaran Roma runtuh. Begitu juga dengan beberapa kelompok bangsa dari Jerman yang masuk ke wilayah kekaisaran Roma akhirnya menempati daerah tersendiri seperti bangsa Vandal yang menyusup ke Spanyol dan bangsa Visigoth yang mendirikan ibukota di Toledo. Kedua kelompok tersebut ialah penganut setia arianisme dan beberapa raja mereka menganiaya orang-orang Katolik maupun Ortodoks.
Sementara itu, orang-orang Inggris dan Saxonia mendiami kepulauan Inggris Raya yang dipengaruhi oleh budaya dan politik Romawi. Dengan demikian, Italia diserang oleh beberapa bangsa dari Jerman. Hal itu memaksa Kaisar Romulus Agustus turun tahta dan digantikan oleh Raja Odoakre Heruli tahun 476. Akan tetapi, tidak lama kemudian Odoakre ditaklukkan oleh Ostrogoth yang juga penganut arianisme. Di kemudian hari, bangsa Bisantin berhasil menaklukkan Ostrogoth dan mengambil alih kekuasaan. Akan tetapi, bangsa Bisantin kembali mendapat perlawanan dari penganut arianisme lainnya yakni bangsa Lombardia. Serangan bertubi-tubi tersebut memaksa kepausan bersekutu dengan bangsa Frank.
Pada tahun 529, seorang tokoh monastikisme barat awal, Benediktus dari Nursia, mendirikan Monte Casino dan membentuk regula yang kemudian mempengaruhi monastikisme barat selama berabad-abad. Pengaruh monastikisme tersebut menjalar sampai ke Eropa Barat. Selanjutnya, antara Gereja Katolik dan Ortodoks muncul diskusi mengenai kepausan yang juga menyangkut gelar “Paus”. Kata “Paus” merupakan istilah yang dimaksudkan untuk memberi penghormatan dan rasa terima kasih, yang sebelumnya diterapkan kepada setiap uskup yang menerima penghormatan khusus. Selama periode tersebut, kepausan menjadi tidak stabil dan banyak diperoleh kekuasaan dan prestise.
Beberapa Paus ikut intervensi dalam kontroversi-kontroversi tersebut, misalnya Paus Leo Agung dan Gregorius Agung. Akan tetapi, Paus-paus pengganti Gregorius lebih memilih politik konfrontatif terhadap pihak Lombardia dan kaisar-kaisar Kristen di Konstantinopel. Hal ini membuat relasi antara kepausan dan kekaisaran semakin erat. Akan tetapi, secara perlahan kepausan mengalami kemerosotan, terutama setelah muncul ajang perebutan kekuasaan dan konflik ambisi antar keluarga Romawi yang berpengaruh. Ditambah lagi, di bagian timur, negara lebih berkuasa daripada Gereja dan sering memaksakan kehendaknya pada Gereja. Selain itu, muncul juga doktrin kristologis yang menjadi kontroversi teologis, yakni hal-hal yang berkaitan dengan masalah bagaimana Putera Allah yang telah menjadi manusia dapat menjadi ilahi dan insane. Kontroversi doktriner lainnya ialah ikonoklasme.[4]
Dampak dari kontroversi-kontroversi tersebut ialah munculnya Gereja yang memberontak dan mandiri yang juga disebut Nestorian dan Monofisit. Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok yang menolak konsili Ekumenis. Pada pertengahan kurun waktu awal abad pertengahan, Islam muncul sebagai kekutan baru. Selain itu, terjadi pula konflik internal di dalam Gereja yang menambah kekacauan. Akibatnya, kekaisaran Bisantin sedikit demi sedikit kehilangan pengaruhnya. Setelah itu, relasi antara Gereja Barat dan Timur semakin tegang sampai terjadi pemutusan hubungan tahun 1054 yang juga disebut skisma timur. Sebab langsung perpecahan itu ialah kata Filioque yang ditambahkan dalam syahadat Nikaia-Konstantinopel oleh Gereja Barat.

B.                 Puncak Abad Pertengahan (1054-1303)
Setelah Gereja mengalami perpecahan atau skisma antara Gereja Barat dan Timur, dalam kurun waktu 1054-1303, Gereja Katolik Roma mengukir masa keemasan. Inilah masa puncak abad pertengahan. Pada awalnya, Gereja Barat merasa membutuhkan sebuah reformasi untuk memperbaiki moral Gereja yang sebelumnya mengecewakan dan kacau. Reformasi tersebut dimulai oleh jajaran monastik dengan didirikannya pertapaan Cluny tahun 909, lalu muncul pertapaan Cistersiensis yang menghadirkan tokoh Bernardus Clairvaux tahun 1090-1153.
Kemudian Paus Leo IX menerapkan reformasi yang sudah dimulai oleh kaum monastik. Gerakan reformasi tersebut memuncak pada masa Paus Gregorius VII yang menerbitkan Dicdatus Papae di mana terdapat 27 dalil tentang wewenang supremasi kepausan atas kekaisaran. Paus Gregorius VII juga mendesak supaya para imam hidup selibat dan mengecam simonia[5]. Hal ini memicu pemberontakan di berbagai daerah antara otoritas sekuler dan Gereja. Konflik tersebut disebut sebagai konflik investitur. Konflik investitur yang paling buruk ialah antara Paus Gregorius VII dengan Henry IV yakni konflik dalam hal memperebutkan hak untuk memilih , menetapkan, mengangkat dan menempatkan uskup dan pejabat gereja lainnya. Wafatnya Gregorius VII tidak mengakhiri konflik antara petinggi Gereja dengan kekaisaran. Henry IV kembali berselisih dengan Paus Viktor III dan Urbanus II. Henry V menerapkan kebijakan yang sama. Akhir dari konflik investitur ini ialah tercapainya kesepakatan antara petinggi Gereja dan kekaisaran melalui perjanjian Worms tahun 1122.
Selanjutnya, pada periode ini juga terjadi Perang Salib yang berlangsung beberapa abad lamanya. Perang  ini dinyatakan oleh Paus Urbanus II. Penyebab utama Perang Salib ialah perebutan Tanah Suci di Yerusalem oleh penguasa orang-orang Islam. Dampak adanya perang salib ini antara lain: berkembangnya tata niaga, bertumbuhnya kota-kota, beredarnya kembali mata uang dan lahirnya kelompok borjuis.
Situasi semacam itu mendorong munculnya tarekat-tarekat baru yang berusaha membangkitkan karya misioner, yakni  Fransiskan yang didirikan oleh Fransiskus Assisi dan Dominikan yang didirikan oleh Dominikus Guzman.[6] Kedua tarekat tersebut bekerja di universitas-universitas yang akhirnya mempelopori kemunculan ilmu teologi skolastik.
Pada akhirnya, dalam periode ini, kepausan mencapai zaman keemasan pada saat Innocentius III terpilih sebagai Paus, meskipun sesudah itu, secara perlahan kepausan mengalami kemunduran akibat ketidakteraturan dan juga skisma serta konflik-konflik dengan kekaisaran yang kembali bergejolak. 

C.                Akhir Abad Pertengahan (1303-1450)
Persoalan Gereja yang muncul pada akhir abad pertengahan ialah perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kepausan dan kekaisaran. Selain itu, ada persoalan lain yang muncul di Eropa ialah perang 100 tahun antara Inggris dan Prancis dan juga konflik yang melibatkan sebagian besar negara-negara Eropa. Konflik antar negara tersebut juga disertai dengan wabah pes hitam yang mempengaruhi jumlah populasi dan perekonomian Eropa. Pada periode ini, kewibawaan kepausan merosot drastis sehingga menimbulkan pembuangan kepausan ke Avignon oleh para penguasa Prancis.
 Skisma Besar Gereja Barat juga turut menambah kekacauan Gereja di mana ada dua atau bahkan tiga paus yang menyatakan diri sebagai pewaris tahta St. Petrus yang sah. Hal ini awalnya disebabkan oleh diangkatnya para cardinal Prancis yang tidak puas dengan pemilihan paus sehingga mereka menghendaki pemilihan ulang.
Pengaruh renesans yang begitu mengagung-agungkan keindahan, mendorong paus untuk memberi prioritas pada pembangunan kota Roma daripada meningkatkan kehidupan spiritualitas umat. Persoalan lain dalam Gereja pada zaman itu ialah pengaruh konsiliarisme di mana umat mengharapkan sebuah konsili yang menetapkan satu paus yang sah. Gerakan ini pada awalnya berhasil, akan tetapi kemudian memunculkan situasi di mana ada satu paus dengan dua konsili.
Selain pengaruh konsiliarisme, munculnya paham nominalisme yang dimotori oleh William Ockharm serta bangkitnya Gereja-gereja Nasional juga turut menambah kesuraman Gereja pada masa itu. Paham nominalisme merupakan paham yang menentang ajaran skolastisisme dan segala sesuatu yang bersifat universal. Gerakan ini pada akhirnya mempengaruhi Martin Luther dalam gerakan reformasi Gereja sesudah masa itu.
Persoalan-persoalan tersebut mendorong munculnya berbagai macam bentuk reformasi seperti yang dihembuskan oleh John Wycliffe, Jan Huss dan Yakobus Savonarola. Orang-orang mulai mengharapkan adanya reformasi di seluruh Gereja dan mereka mendapat tempat pengungsian dalam suatu paham yang bernama mistisisme yang mengizinkan mereka mengolah hidup rohani dan mendekati Allah tanpa mengacuhkan Gereja yang kacau.
Mistisme menyebar luas ke seluruh Eropa. Meister Eckhart, seorang guru tersohor mistisisme pada masa itu  mengembangkan ajaran mistisme, tetapi kemudian ia dituduh panties. Para mistikus memandang diri mereka sebagai putera-putera setia Gereja dan beberapa merintis konflik terbuka dengan otoritas Gereja yang merendahkan paham tradisional Gereja, hierarki dan fungsinya.
Sementara itu, kekaisaran Bisantin secara perlahan mengalami kemunduran oleh karena kemajuan kekuatan bangsa Turki. Serangan-serangan yang dilancarkan bangsa Turki mampu menggulingkan kekaisaran Bisantin pada tahun 1453. Jatuhnya Konstantinopel ini membuat para ilmuwan melarikan diri ke Barat dengan membawa manuskrip-manuskrip kuno yang penting. Hal itu membawa dampak positif terhadap renesans dan karya para humanis di Barat. Pada akhir periode abad pertengahan ini, kekristenan menjadi matang karena perubahan-perubahan yang temporal yang terjadi dalam abad XVI.




[1] Ringkasan dari buku Eddy Kristiyanto. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 56-89.
[2] Juga disebut Gereja Latin/Roma.
[3] Juga disebut Gereja Yunani/Ortodoks/Bisantin.
[4] Kontroversi yang menyangkut gambar-gambar suci dalam tata peribadatan Kristen.
[5] Praktik jual beli kedudukan kegerejaan dan sakramen-sakramen.
[6] Dikenal pula dengan sebutan tarekat mendikantes yang berarti hidup dari mengemis. 

Nominalisme: Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja

Nominalisme: Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja

Pengantar
            Pada masa awal abad pertengahan yakni sekitar abad XIV, muncul sebuah paham yang cukup menggemparkan Gereja, yakni paham nominalisme. Paham ini merupakan aliran teologis yang berusaha melawan dan mereduksi paham-paham yang bersifat universal baik dalam alam pikiran maupun dalam dunia benda-benda.[1] Sementara itu, munculnya paham ini juga  dilatarbelakangi oleh pandangan skolastisisme yang ingin menggeneralisasikan apa saja, termasuk paham mengenai iman dan Allah.
            Dalam paham nominalisme, semua istilah yang bersifat universal seperti istilah-istilah yang menunjukkan pembedaan genus atau spesies dan semua istilah kolektif umum, hanya merupakan nama-nama fiksional belaka dan tidak mempunyai eksistensi obyektif dan real yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain, hanya eksisten partikular yang ada, sedangkan abstraksi, hal-hal universal, gagasan dan esensi hanya merupakan produk dari bahasa manusia dari bagaimana pikiran memahami kenyataan. Semua itu tidak menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya karena hal-hal yang universal tidak mempunyai esensi melainkan hanya definisi-definisi dan bahasa-bahasa pada umumnya yang berhubungan dengan nama-nama atau istilah. Dengan kata lain, sebuah realitas dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar diri seseorang.
         Tulisan ini secara khusus hendak memaparkan secara lebih detail latar belakang kemunculan nominalisme, dampak kemunculannya bagi Gereja dan juga kaitannya dengan reformasi Gereja yang dipelopori oleh Martin Luther. Dengan pembahasan ini, kita diharapkan mampu melihat kaitan yang sangat erat antara paham nominalisme dan fajar reformasi Gereja dan akhirnya mampu berefleksi dari apa yang dialami Gereja.  

Latar Belakang Munculnya Nominalisme
            Paham nominalisme sebenarnya sudah muncul pada abad XI melalui pribadi Roscelin yang mempertalikan universalia dengan nama-nama semata. Pandangan Roscelin ini bertentangan dengan pandangan yang memperlihatkan suatu pemahaman akan arti-arti universal sebagai dasar dari semua nama universal. Kaum nominalis menegaskan bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah benda-benda individu dengan ciri-ciri individualnya. Konsep-konsep umum yang diciptakan oleh pikiran manusia sama sekali tidak berada secara independen dari benda-benda, bahkan konsep-konsep umum tersebut tidak mencerminkan ciri dan kualitas benda-benda. Pada masa itu, nominalisme berkaitan erat dengan kecondongan-kecondongan materialis yakni kecondongan yang mengakui bahwa benda-benda itu justru yang primer sedangkan konsep-konsep adalah yang sekunder.
        Selanjutnya, paham nominalisme berkembang pada Abad Pertengahan dengan mengajarkan bahwa nama-nama (Lat. Nomina) benda, meskipun berguna untuk membut klasifikasi, sebenarnya tidak dapat menggambarkan realitas. Setiap substansi dirasakan bersifat individual dan tidak ada kodrat yang umum.[2] Paham ini mempengaruhi ajaran teologi dalam Gereja, khususnya ajaran mengenai Allah, pembenaran iman dan sakramen.
            Munculnya paham ini merupakan sebuah perlawanan terhadap paham skolastisime yang merupakan suatu paham yang hendak menjawab secara sistematis problem Kristiani, tidak hanya mengenai dogma tetapi juga kehidupan yang lebih luas. Dalam pandangan ini, pandangan-pandangan universalisme cukup ditekankan. Nuansa pemikiran skolastik yang sangat spekulatif selama abad pertengahan tidak lantas diterima begitu saja oleh semua pihak tetapi justru memicu tokoh-tokoh yang memiliki pandangan sebaliknya untuk melawan dan membentuk paham baru.[3]
            William dari Ockham (1285-1347) adalah tokoh nominalisme yang paling terkenal. Ia adalah seorang Fransiskan dari Inggris yang mendapat gelar Doctor invincibilis et venerabilis inceptor.[4] Gelar venerabilis inceptor ini mengacu pada kenyataan bahwa ia tidak dapat melanjutkan karir akademiknya karena konflik dengan tahta suci tetapi memperoleh pemula dari Universias Oxford bachaloreat (inceptor), pemula, tanpa mencapai magister.[5] Ockham merupakan sosok besar yang menyebarluaskan dan mematangkan doktrin nominalisme. Pengaruh nominalisme menyebar ke bebergai universitas di Eropa sehingga memiliki dampak bagi Gereja pada masa itu.    
             
Dampak bagi Gereja
            Sebagai sebuah aliran pemikiran yang merupakan reduksi terhadap paham-paham yang bersifat universal, nominalisme menegaskan bahwa obyek pemikiran manusia hanya menjadi tanda-tanda kosong dan tidak berarti selain tinggal sebuah nama saja. Salah satu ungkapan yang cukup terkenal dari William Shakespeare ialah “What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet”[6]. Pandangan Shakespeare ini selaras dengan pemikiran para kaum nominalis pada abad pertengahan. Dalam pandangan Shakespeare, nama-nama benda dianggap tidak dapat menunjukkan kenyataan yang jauh lebih mempunyai esensi. Analoginya kurang lebih sebagai berikut. Seandainya saja sebuah bunga mawar itu diberi nama yang lain, esensi keindahan dan keharumannya tidak berkurang.
         Dari analogi tersebut, dapat dilihat kaitannya bahwa segala sesuatu yang dapat diperlihatkan dan secara rasional memiliki dasar-dasar yustifikasi sebenarnya tidak dapat diukur kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini juga berlaku dalam hal iman di mana iman itu sendiri dipertanyakan kebenaran rasionalnya. Selanjutnya, muncul sebuah penegasan pada kebebasan absolut Allah dan pewahyuan yang tidak dapat diverifikasikan. Akhirnya penegasan tersebut membawa  ke arah kebenaran ganda yakni sesuatu dapat dikenali sebagai hal yang benar oleh iman kendati bertentangan dengan akal budi. Dalam pandangan nominalisme, konsep-konsep dan realitas itu sama sekali terpisah. Konsekuensinya, tidak mungkin ada pengetahuan alami tentang Allah. Ockham memperlihatkan bahwa bukti-bukti yang umum tentang Allah bukanlah sebuah logika yang dapat dinalar secara rasional. Oleh sebab itu, Allah hanya dapat dipahami dengan iman.
               Pada awalnya, Gereja cukup mendukung adanya kesatuan antara iman dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pengaruh Ockham dengan paham nominalismenya sungguh mencengangkan Gereja karena mampu mengubah teologi menjadi filsafat yang mengarah pada pemisahan antara Allah dan ciptaan serta iman dan ilmu pengetahuan. Penyelenggaran Ilahi pun seakan-akan harus mengikuti kaidah-kaidah forma intelektual dan logis rekaan manusia. Pemisahan radikal antara Allah dan ciptaan serta iman dan ilmu pengetahuan merupakan penyebab pemisahan analogis antara Gereja dan dunia.

Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja
          Dengan adanya pemisahan yang radikal antara iman dan ilmu pengetahuan, nominalisme menjadi semacam pintu masuk bagi reformasi Gereja, termasuk juga gerakan Protestantisme yang dipelopori oleh Martin Luther, seorang rahib Agustinian. Ilmu pengetahuan teologi mengalami masa kritis pada waktu munculnya paham nominalisme pada abad XIV dan XV. Krisis ini mempengaruhi stabilitas Gereja Katolik Roma dan akhirnya mendorong situasi sosio-religius yang lantas memberikan lahan subur bagi Matin Luther untuk memulai gerakan reformasi Gereja.
            Kritik awal Luther adalah kritik terhadap hal-hal praktik Gereja Katolik saat itu yang yang berciri kuantitatif, obyektif dan relatif ketika melihat relasi antara manusia dengan Allah. Pandangan Luther ini tentu saja menandaskan kutub lain dari Gereja Katolik, karena ia sendiri lebih cenderung menekankan subyektivitas dalam relasi personal-kualitatif.
            Menurut Luther, relasi personal-kualitatif inilah yang membawa orang pada keselamatan sebagai sesuatu yang dinantikan oleh setiap manusia.[7] Keselamatan tidak diperoleh melalui praktik-praktik kesucian yang dilakukannya, melainkan karena rahmat ilahi yang diberikan kepada manusia tanpa syarat. Pemikiran Luther yang sedemikian rupa sampai akhirnya membawa skisma dalam Gereja tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh paham nominalisme.
           
Kesimpulan
            Paham nominalisme muncul sebagai perlawanan dari paham skolastisisme yang hendak menggeneralisasikan apa saja menjadi konsep-konsep umum. Dalam paham ini, segala hal yang berkaitan dengan universalia dilawan karena dianggap tidak mempunyai esensi dibandingkan dengan keberadaan  benda itu sendiri. Paham ini dengan kata lain hendak mengatakan bahwa kemampuan rasional manusia tidak akan mampu memahami keilahian Allah. Oleh sebab itu, Allah harus dipahami dengan iman dan bukan dengan ilmu pengetahuan. Ternyata, paham ini berkembang pesat dan mempengaruhi teologi Gereja. Dampak langsung nominalisme bagi Gereja antara lain adanya separasi antara iman dan akal budi yang selanjutnya menjadi salah satu pengaruh munculnya reformasi Gereja yang dipelopori Martin Luther. Dengan demikian, paham nominalisme merupakan sebuah pintu masuk bagi reformasi Gereja, karena melalui paham inilah, muncul tokoh-tokoh yang hendak memperbaharui Gereja dari dalam.    

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Entri “Nominalisme”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,        1996.

Kristiyanto, Eddy. Reformasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004

Maulana Baruwarsa, Riki. Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah).         Jakarta: STF. Driyarkara, 2013.

O’Collins, Gerald dan G. Farrugia, Edward. Kamus Teologi, Entri “Nominalisme”.                     Yogyakarta: Kanisius, 1996.





[1] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, Yogyakarta: Kanisius, 2004,  hlm. 27.
[2] Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Entri “Nominalisme”. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 216.
[3] Riki Maulana Baruwarsa, Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah), Jakarta: STF. Driyarkara, 2013, hlm. 10.
[4] Doktor yang tak terkalahkan dan pencetus yang terhormat
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 28.
[6] Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”
[7] Riki Maulana Baruwarsa,  Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah), Jakarta: STF. Driyarkara, 2013, hlm. 11.