PERAN
GEREJA KATOLIK
DALAM
MENGHADAPI PERSOALAN PLURALISME
DI
INDONESIA
A. Pendahuluan
Gereja
Katolik di Indonesia yang hanya berjumlah kecil dibandingkan seluruh warga
negara harus mampu menghadapi persoalan negara yang semakin rumit, terutama
persoalan pluralisme. Indonesia merupakan sebuah negara yang plural dan di
dalamnya terdapat berbagai macam suku, budaya dan agama. Keaneka-ragaman
tersebut seharusnya merupakan kekayaan bangsa di mana masyarakat yang hidup di
dalamnya dapat saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, pluraritas bangsa
ini justru sering menimbulkan berbagai macam persoalan dan konflik.
Persoalan
dan konflik itu dapat dilihat dari berbagai macam kasus kekerasan dengan
mengatas-namakan agama yang sampai sejauh ini terjadi.[1] Misalnya:
Kasus perusakan gedung Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik di
Temanggung pada tahun 2011[2]
dan penolakan terhadap Susan Jasmine seorang lurah Lenteng Agung, Jakarta yang
beragama Kristen Protestan oleh Front Pembela Islam (FPI)[3].
Seandainya beberapa persoalan itu muncul hanya disebabkan oleh masalah agama,
hal ini jelas sangat disayangkan karena dapat mempengaruhi stabilitas dan
integritas nasional.
Dalam
ajaran Teologi Gereja menurut Konsili Vatikan II, Gereja Katolik diharapkan
mampu terlibat dalam mengatasi tantangan zaman dewasa ini seperti
fundamentalisme segala asal-usul, primordialisme, kesempitan doktriner dan
ideologis.[4]
Secara khusus dalam konteks negara Indonesia adalah persoalan pluralisme.
Tulisan ini hendak memaparkan persoalan pluralisme secara umum yang terjadi di
Indonesia dan juga peran Gereja Katolik
yang terdiri dari hierarki dan awam dalam menghadapi persoalan pluralisme di
Indonesia.
B. Persoalan
Pluralisme di Indonesia
Pluralisme adalah keadaan
masyarakat yang majemuk.[5] Hal ini sering bersangkutan dengan sistem sosial dan politik. Selain bersangkutan dengan
sistem sosial dan politik, pluralisme dapat dilihat pula dari segi
keaneka-ragaman suku, ras, agama dan budaya. Seluruh umat manusia di dunia diciptakan
beraneka-ragam. Dalam keaneka-ragaman tersebut, mereka berusaha membangun relasi
sosial dengan sesamanya.
Dalam keadaan masyarakat
Indonesia yang sangat plural, sering kali terjadi persoalan konflik
antarkelompok yang dipicu oleh masalah suku, budaya atau ekonomi. Tentu saja
masih teringat jelas kasus tragedi Sampit pada tahun 2001 yang melibatkan suku
Madura dengan suku Dayak. Barangkali semua itu disebabkan oleh ketidakdewasaan
masyarakat Indonesia dalam berpikir. Bertitik-tolak dari tragedi Sampit, kita
dapat menarik benang merah bahwa akal sehat sudah tidak mampu lagi dimiliki
oleh masyarakat yang telah dibutakan oleh pandangan sempit pluralisme.
Persoalan pluralisme sosial semacam itu sangat mempengaruhi stabilitas dan integritas
nasional[6].
Dahulu, para pahlawan berjuang dengan keras tanpa memandang perbedaan karena
mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Semangat juang pasukan gerilya Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah
dan sebagian Jawa Timur melawan Belanda sekitar tahun 1825-1830 sama dengan semangat Kapitan Pattimura sekitar tahun 1817 di Saparua melawan Belanda. Tidak ada tembok-tembok pemisahan
suku, agama maupun budaya yang menjadi
penghambat dalam perjuangan mereka. Akan tetapi, saat ini dalam konteks negara Indonesia yang merdeka, justru kita
sendiri yang berperang satu-sama lain. Tentu saja, situasi semacam ini jauh
dari apa yang dinamakan stabilitas dan integritas nasional.
Agama merupakan salah salah satu faktor yang sering dijadikan kambing hitam terhadap
adanya konflik antarkelompok. Para pemeluk agama tertentu bahkan sering
membentuk semacam kelompok radikal untuk membela agamanya dengan cara apapun,
bahkan jika perlu menghancurkan agama lain. Sebagai contoh, kita bisa melihat
kasus penganiayaan penganut Ahmadiyah dan Syiah[7]. Adanya kasus-kasus kekerasan
yang mengatasnamakan agama tersebut seolah-olah menghilangkan nilai keluhuran
sebuah ajaran kebaikan dari setiap agama.
C. Peran
Gereja Katolik dalam Menghadapi Persoalan Pluralisme di Indonesia[8]
Di
tengah-tengah masyarakat yang plural dan penuh dengan aneka macam persoalan
pluralisme tersebut, Gereja hidup dan berkarya. Yang dimaksud dengan Gereja ialah mereka
yang berkehendak untuk menjiwai Roh Yesus yang menguduskan dunia, yakni para
hierarki (Imam tertahbis) dan awam.
Dalam
rangka menggerakkan peran Gereja dalam mengatasi keadaan chaos negara Indonesia ini menjadi keadaan cosmos, dibutuhkan kerja sama
yang baik antara hierarki dan awam Katolik.[9]
Pihak hierarki sebagai pemimpin Gereja diharapkan mampu merangkul para awam
Katolik. Selain itu, para awam
juga saling menyumbangkan ide dan keahlian mereka untuk membantu Gereja dalam
upaya menjadi garam dan terang bagi negara Indonesia. Adanya sinergi yang baik
antara hierarki dan awam akan memperkuat Gereja dalam mengembangkan misinya di
Indonesia yang dijiwai oleh Roh Yesus.
1.
Peran Hierarki
Di
Indonesia, peran hierarki dalam menghadapi pluralisme umumnya masih dalam taraf
pikiran. Sebagain besar dari para pastor di sejumlah paroki dan keuskupan selalu
memiliki gagasan yang baik dalam rangka menyumbangkan sesuatu bagi bangsa dan
negara. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka lebih sering menutup diri di dalam lingkungan Gereja
saja. Dengan kata lain, ada rasa
enggan untuk keluar dari zona nyaman dengan cara menjalin relasi dengan
masyarakat sekitar yang berbeda agama, para aparat pemerintahan dan lain-lain.
Cara paling efektif yang dapat
dilakukan oleh para hierarki dalam menghadapi persoalan pluralisme ialah dengan
terjun langsung dengan masyarakat, juga dengan para aparat pemerintahan.
Bagaimana mungkin identitas Gereja yang diwakili oleh para hierarki dapat di
kenal oleh masyarakat, jika para hierarki enggan untuk membaur. Akibat buruknya
ialah Gereja tidak akan mampu menyebarkan ajaran iman kepada masyarakat dan
bersaksi di tengah-tengah mereka, jikalau keberadaan mereka saja masih berjarak
dengan masyarakat.
Oleh sebab itu, hendaknya para
hierarki terutama mereka yang bekerja di paroki-paroki mencoba membuka diri,
bergaul, berdiskusi dan bekerjasama dengan masyarakat sekitar tempat tinggal
dan tidak mengambil jarak dengan mereka.
Itu baru sebuah langkah awal untuk terjun secara utuh ke dalam lingkup
negara. Setelah mampu untuk membaur dan berelasi dengan baik, barulah sedikit
demi sedikit memberikan pengaruh yang baik bagi negara Indonesia.
2.
Peran Awam
Konsili Vatikan II menegaskan
bahwa pada masa kini, peran kaum awam harus
lebih diutamakan, karena jumlah mereka jauh lebih besar daripada jumlah para
hierarki di dalam Gereja Katolik. Gereja
bukan pertama-tama hierarki; para uskup dan pastor, melainkan seluruh umat yang
percaya kepada Yesus Kristus. Oleh sebab itulah, perutusan Gereja untuk menjadi
saksi Kristus juga menjadi perutusan para awam. Dengan kata lain, para awam
dipanggil untuk menyampaikan cinta kasih dan keadilan Allah kepada masyarakat pada umumnya.
Dalam konteks zaman yang
seperti sekarang ini, sangatlah mustahil jika para hierarki berjuang sendiri
dalam menghadapi persoalan yang tidak mudah ini, yakni pluralisme. Maka dari
itu, partisipasi para awam sangat dibutuhkan untuk mendukung karya Kristus di
dunia melalui Gereja Katolik ini. Ini bukan perkara mudah tetapi tidak mustahil
untuk dilakukan, karena para awam Katolik di Indonesia memiliki potensi yang
dapat disumbangkan untuk kebaikan negara.
Sebagian besar dari kaum awam bahkan adalah para cendikiawan di mana mereka mempunyai
keahlian tertentu dalam bidangnya masing-masing. Dalam konteks zaman ini, Gereja Katolik sangat kaya akan jumlah
cendikiawan awam Katolik. Akan tetapi, dengan keahlian-keahlian tersebut,
mereka justru sering jatuh dalam perselisihan, persaingan dan keinginan untuk dianggap paling hebat. Akibatnya mereka akan bekerja sendiri-sendiri. Sangat disayangkan, jikalau
mereka justru lebih mementingkan diri sendiri dan berselisih satu sama lain. Akan menjadi lebih baik dan bijaksana jika mereka
turut serta menyumbangkan keahlian-keahlian mereka itu kepada negara.
Maka, harus ada kesadaran diri para awam bahwa
mereka adalah rasul-rasul yang diutus untuk mewartakan Injil kepada segala
makhluk di manapun. Kesadaran itu hendaknya juga mendorong sesama awam untuk
bersinergi satu sama lain dalam wadah Gereja demi negara Indonesia.
D.
Penutup
Gereja
berkarya bukan hanya dalam rangka menyelamatkan umat Katolik dan acuh tak acuh
terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya. Ajaran Konsili Vatikan II
menyebutkan daya penyelamatan Allah di dunia diperuntukkan bagi semua orang.
Gereja Katolik di Indonesia hanyalah sebagaian kecil dari seluruh masyarakat
Indonesia. Akan tetapi, dengan menghayati ajaran Konsili Vatikan II dan menyadari
eksistensi kita di dunia ini ialah diutus menjadi rasul-rasul Kristus di dunia,
hendaknya dalam jumlah yang kecil ini, kita memberikan pengaruh yang besar
terhadap bangsa dan negara yakni menghadapi persoalan pluralisme.
Daftar
Pustaka
A’la, Abd. “Pertikaian
Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama.” In Melalui Dialog Agama, edited by Qamaruddin SF, 27-34.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta. Balai Pustaka, 2000.
Siwi, Antonius. “Peran Hierarki dan Awam
Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di Indonesia.” Paper
presented at the Class Presentation, Sanata Dharma University, Yogyakarta,
Indonesia, July 25, 2012.
Sumardjo,
Jacob. “Mandala Gereja di Tanah Sunda.” In Iman,
Ilmu dan Budaya, edited by Felly Kama, dkk., 33-39. Jakarta: Yayasan
Bhumiksara, 2001.
Suseno,
Magnis. “Cendikiawan Katolik dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk.” In Iman, Ilmu dan Budaya edited by Felly
Kama, dkk, 110-116. Jakarta: Yayasan
Bhumiksara, 2001.
Sumber-Sumber
Lain
Belarminus,
Robertus. “FPI: Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013.” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati
(diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.35 WIB)
Ihsanuddin,
“Penganut Syiah: Jika Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013.” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh.
(diakses tanggal 15 November 2013, pukul 17.35 WIB)
Rukmorini,
Regina. “Tiga Gereja Dirusak Massa, 2011.” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150
(diakses tanggal 16 November 2013, pukul 13.30 WIB)
[1]Abd A’la, “Pertikaian
Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama,” in Melampaui Dialog Agama, ed. Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002),
33-40.
[2] Regina Rukmorini, “Tiga Gereja
Dirusak Massa, 2011,” http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150
[3] Robertus Belarminus, “FPI:
Menolak Lurah Susan Harga Mati, 2013,” http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/26/1937287/.FPI.Menolak.Lurah.Susan.Harga.Mati
[4] Magnis Suseno, “Cendikiawan Katolik dalam
Masyarakat Indonesia yang Majemuk” in Iman, Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama,
dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 110-116.
[5] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 883.
[6] Abd A’la, “Pertikaian
Sosial dalam Perspektif Pluralisme Agama” in Melampaui Dialog Agama, ed. Qamaruddin SF (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), 27-34.
[7]Ihsanuddin, “Penganut Syiah: Jika
Tak ‘Tobat’, Saya Akan Dibunuh… ,2013,” http://nasional.kompas.com/read/2013/08/12/1949018/Penganut.Syiah.Jika.Tak.Tobat.Saya.Akan.Dibunuh.
[8] Antonius Siwi, “Peran Hierarki
dan Awam Katolik dalam Menghadapi Persoalan Eksteren dan Interen Gereja di
Indonesia,” (paper presented at the Class Presentation, Sanata Dharma
University, Yogyakarta, Indonesia, July 25, 2012).
[9] Jacob Sumardjo, “Mandala Gereja di Tanah Sunda” in Iman,
Ilmu dan Budaya, ed. Felly Kama, dkk (Jakarta: Yayasan Bhumiksara, 2001), 33-39.