Nominalisme:
Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja
Pengantar
Pada
masa awal abad pertengahan yakni sekitar abad XIV, muncul sebuah paham yang
cukup menggemparkan Gereja, yakni paham nominalisme. Paham ini merupakan aliran
teologis yang berusaha melawan dan mereduksi paham-paham yang bersifat
universal baik dalam alam pikiran maupun dalam dunia benda-benda.[1] Sementara itu, munculnya paham ini juga dilatarbelakangi oleh pandangan skolastisisme
yang ingin menggeneralisasikan apa saja, termasuk paham mengenai iman dan Allah.
Dalam
paham nominalisme, semua istilah yang bersifat universal
seperti istilah-istilah yang menunjukkan pembedaan genus atau spesies dan semua
istilah kolektif umum, hanya merupakan nama-nama fiksional belaka dan tidak mempunyai
eksistensi obyektif dan real yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain, hanya
eksisten partikular yang ada, sedangkan abstraksi, hal-hal universal, gagasan
dan esensi hanya merupakan produk dari bahasa manusia dari bagaimana pikiran
memahami kenyataan. Semua itu tidak menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya
karena hal-hal yang universal tidak mempunyai esensi melainkan hanya
definisi-definisi dan bahasa-bahasa pada umumnya yang berhubungan dengan
nama-nama atau istilah. Dengan kata lain,
sebuah realitas dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar diri seseorang.
Tulisan
ini secara khusus hendak memaparkan secara lebih detail latar belakang
kemunculan nominalisme, dampak kemunculannya bagi Gereja dan juga kaitannya dengan reformasi
Gereja yang dipelopori oleh
Martin Luther. Dengan pembahasan ini,
kita diharapkan mampu melihat kaitan yang sangat
erat antara paham nominalisme dan fajar
reformasi Gereja dan akhirnya
mampu berefleksi dari apa yang dialami Gereja.
Latar Belakang
Munculnya Nominalisme
Paham
nominalisme sebenarnya sudah
muncul pada abad XI melalui pribadi Roscelin yang
mempertalikan universalia dengan nama-nama semata. Pandangan Roscelin ini bertentangan
dengan pandangan yang memperlihatkan
suatu pemahaman akan arti-arti universal sebagai dasar dari semua nama
universal. Kaum nominalis menegaskan bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah benda-benda
individu dengan ciri-ciri individualnya. Konsep-konsep
umum yang diciptakan oleh pikiran
manusia sama sekali tidak
berada secara independen dari benda-benda, bahkan konsep-konsep umum tersebut tidak mencerminkan ciri
dan kualitas benda-benda. Pada masa
itu, nominalisme berkaitan erat dengan
kecondongan-kecondongan materialis yakni kecondongan yang mengakui bahwa benda-benda itu justru yang primer sedangkan konsep-konsep
adalah yang sekunder.
Selanjutnya, paham nominalisme
berkembang pada Abad Pertengahan dengan
mengajarkan bahwa nama-nama (Lat. Nomina)
benda, meskipun berguna untuk membut klasifikasi, sebenarnya tidak dapat
menggambarkan realitas. Setiap substansi dirasakan bersifat individual dan
tidak ada kodrat yang umum.[2] Paham ini mempengaruhi ajaran teologi dalam Gereja, khususnya
ajaran mengenai Allah, pembenaran
iman dan sakramen.
Munculnya paham ini merupakan
sebuah perlawanan terhadap
paham skolastisime yang merupakan suatu paham yang hendak menjawab secara
sistematis problem Kristiani, tidak hanya mengenai dogma tetapi juga kehidupan
yang lebih luas. Dalam pandangan ini, pandangan-pandangan universalisme cukup ditekankan.
Nuansa pemikiran skolastik yang sangat spekulatif selama abad pertengahan tidak
lantas diterima begitu saja oleh semua pihak tetapi justru memicu tokoh-tokoh
yang memiliki pandangan sebaliknya
untuk melawan dan membentuk paham baru.[3]
William dari Ockham (1285-1347)
adalah tokoh nominalisme yang paling terkenal. Ia adalah seorang Fransiskan dari
Inggris yang mendapat gelar Doctor
invincibilis et venerabilis inceptor.[4]
Gelar venerabilis inceptor ini
mengacu pada kenyataan bahwa ia tidak dapat melanjutkan karir akademiknya
karena konflik dengan tahta suci tetapi memperoleh pemula dari Universias
Oxford bachaloreat
(inceptor), pemula, tanpa mencapai
magister.[5] Ockham
merupakan sosok besar yang menyebarluaskan dan mematangkan doktrin nominalisme. Pengaruh nominalisme menyebar ke bebergai
universitas di Eropa sehingga memiliki dampak bagi Gereja pada masa itu.
Dampak bagi Gereja
Sebagai sebuah aliran pemikiran yang
merupakan reduksi terhadap paham-paham yang bersifat universal, nominalisme
menegaskan bahwa obyek pemikiran manusia hanya menjadi tanda-tanda kosong dan
tidak berarti selain tinggal sebuah nama
saja. Salah satu ungkapan yang cukup terkenal dari William Shakespeare ialah “What's in a name? That which we call a rose
by any other name would smell as sweet”[6].
Pandangan Shakespeare ini selaras dengan pemikiran para kaum nominalis pada
abad pertengahan. Dalam pandangan Shakespeare, nama-nama benda dianggap tidak dapat
menunjukkan kenyataan yang jauh lebih
mempunyai esensi. Analoginya kurang lebih sebagai berikut. Seandainya saja
sebuah bunga mawar itu diberi nama yang lain, esensi keindahan dan keharumannya
tidak berkurang.
Dari
analogi tersebut, dapat dilihat kaitannya bahwa
segala sesuatu yang dapat diperlihatkan dan secara rasional memiliki
dasar-dasar yustifikasi sebenarnya tidak
dapat diukur kebenaran yang sesungguhnya.
Hal ini juga berlaku dalam hal iman di mana iman itu sendiri dipertanyakan
kebenaran rasionalnya. Selanjutnya, muncul sebuah penegasan pada kebebasan
absolut Allah dan pewahyuan yang tidak dapat diverifikasikan. Akhirnya penegasan tersebut
membawa ke arah
kebenaran ganda yakni sesuatu
dapat dikenali sebagai hal yang benar oleh iman kendati bertentangan dengan
akal budi. Dalam pandangan nominalisme, konsep-konsep dan realitas itu sama
sekali terpisah. Konsekuensinya, tidak mungkin ada pengetahuan alami tentang
Allah. Ockham memperlihatkan bahwa bukti-bukti yang umum tentang Allah bukanlah
sebuah logika yang dapat dinalar secara rasional. Oleh sebab itu, Allah hanya dapat dipahami dengan
iman.
Pada awalnya, Gereja cukup mendukung
adanya kesatuan antara iman dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pengaruh Ockham dengan
paham nominalismenya sungguh mencengangkan Gereja karena mampu mengubah teologi menjadi
filsafat yang mengarah pada pemisahan antara Allah dan ciptaan
serta iman dan ilmu pengetahuan. Penyelenggaran Ilahi pun seakan-akan
harus mengikuti kaidah-kaidah forma intelektual dan logis rekaan manusia. Pemisahan radikal antara Allah
dan ciptaan serta iman
dan ilmu pengetahuan merupakan penyebab pemisahan
analogis antara Gereja dan dunia.
Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja
Dengan adanya pemisahan yang radikal
antara iman dan ilmu pengetahuan, nominalisme menjadi semacam pintu masuk bagi reformasi Gereja,
termasuk juga gerakan Protestantisme yang dipelopori oleh Martin Luther,
seorang rahib Agustinian.
Ilmu
pengetahuan teologi mengalami masa kritis pada waktu munculnya paham
nominalisme pada abad XIV dan XV. Krisis ini mempengaruhi stabilitas Gereja
Katolik Roma dan akhirnya
mendorong
situasi sosio-religius yang lantas memberikan lahan subur bagi Matin Luther
untuk memulai gerakan reformasi Gereja.
Kritik
awal Luther adalah kritik terhadap hal-hal praktik Gereja Katolik saat itu yang yang berciri
kuantitatif, obyektif dan relatif ketika melihat relasi antara manusia dengan
Allah. Pandangan Luther ini tentu saja menandaskan kutub lain dari Gereja
Katolik, karena ia sendiri
lebih cenderung menekankan subyektivitas dalam relasi
personal-kualitatif.
Menurut Luther, relasi
personal-kualitatif inilah yang membawa orang pada keselamatan sebagai sesuatu
yang dinantikan oleh setiap manusia.[7]
Keselamatan tidak diperoleh melalui praktik-praktik kesucian yang dilakukannya,
melainkan karena rahmat ilahi yang diberikan kepada manusia tanpa syarat. Pemikiran
Luther yang sedemikian rupa sampai akhirnya
membawa skisma dalam Gereja
tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh paham nominalisme.
Kesimpulan
Paham nominalisme muncul sebagai
perlawanan dari paham skolastisisme yang hendak menggeneralisasikan apa saja menjadi konsep-konsep umum.
Dalam paham ini, segala hal yang berkaitan dengan universalia dilawan karena
dianggap tidak mempunyai esensi dibandingkan dengan keberadaan benda itu
sendiri. Paham ini dengan kata lain
hendak mengatakan bahwa kemampuan rasional manusia tidak akan mampu memahami
keilahian Allah. Oleh sebab itu, Allah harus dipahami dengan iman dan bukan
dengan ilmu pengetahuan. Ternyata, paham ini
berkembang pesat dan mempengaruhi teologi Gereja. Dampak langsung nominalisme
bagi Gereja antara lain adanya separasi antara iman dan akal budi yang
selanjutnya menjadi salah satu pengaruh munculnya reformasi Gereja yang dipelopori Martin Luther. Dengan demikian, paham
nominalisme merupakan sebuah pintu masuk bagi reformasi Gereja, karena melalui
paham inilah, muncul tokoh-tokoh yang hendak memperbaharui Gereja dari dalam.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Entri “Nominalisme”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1996.
Kristiyanto, Eddy. Reformasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004
Maulana Baruwarsa, Riki. Pengantar dan Metode Penelitian Teologi
(Dalam Diktat Kuliah). Jakarta:
STF. Driyarkara, 2013.
O’Collins, Gerald dan G. Farrugia,
Edward. Kamus Teologi, Entri
“Nominalisme”. Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
[1] Eddy Kristiyanto, Reformasi
dari Dalam, Yogyakarta: Kanisius,
2004, hlm.
27.
[2]
Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi, Entri “Nominalisme”. Yogyakarta:
Kanisius, 1996,
hlm. 216.
[3]
Riki Maulana Baruwarsa, Pengantar dan Metode Penelitian Teologi
(Dalam Diktat Kuliah), Jakarta: STF.
Driyarkara, 2013,
hlm. 10.
[4] Doktor yang tak
terkalahkan dan pencetus yang terhormat
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam. Yogyakarta:
Kanisius, 2004, hlm.
28.
[6] Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain
untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”
[7] Riki Maulana Baruwarsa, Pengantar dan Metode
Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah), Jakarta:
STF. Driyarkara, 2013,
hlm.
11.
Thanks, singkat namun jelas..
ReplyDeleteKomprehensif dan mudah dipahami
ReplyDelete