Tuesday, 7 January 2014

Nominalisme: Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja

Nominalisme: Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja

Pengantar
            Pada masa awal abad pertengahan yakni sekitar abad XIV, muncul sebuah paham yang cukup menggemparkan Gereja, yakni paham nominalisme. Paham ini merupakan aliran teologis yang berusaha melawan dan mereduksi paham-paham yang bersifat universal baik dalam alam pikiran maupun dalam dunia benda-benda.[1] Sementara itu, munculnya paham ini juga  dilatarbelakangi oleh pandangan skolastisisme yang ingin menggeneralisasikan apa saja, termasuk paham mengenai iman dan Allah.
            Dalam paham nominalisme, semua istilah yang bersifat universal seperti istilah-istilah yang menunjukkan pembedaan genus atau spesies dan semua istilah kolektif umum, hanya merupakan nama-nama fiksional belaka dan tidak mempunyai eksistensi obyektif dan real yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain, hanya eksisten partikular yang ada, sedangkan abstraksi, hal-hal universal, gagasan dan esensi hanya merupakan produk dari bahasa manusia dari bagaimana pikiran memahami kenyataan. Semua itu tidak menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya karena hal-hal yang universal tidak mempunyai esensi melainkan hanya definisi-definisi dan bahasa-bahasa pada umumnya yang berhubungan dengan nama-nama atau istilah. Dengan kata lain, sebuah realitas dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar diri seseorang.
         Tulisan ini secara khusus hendak memaparkan secara lebih detail latar belakang kemunculan nominalisme, dampak kemunculannya bagi Gereja dan juga kaitannya dengan reformasi Gereja yang dipelopori oleh Martin Luther. Dengan pembahasan ini, kita diharapkan mampu melihat kaitan yang sangat erat antara paham nominalisme dan fajar reformasi Gereja dan akhirnya mampu berefleksi dari apa yang dialami Gereja.  

Latar Belakang Munculnya Nominalisme
            Paham nominalisme sebenarnya sudah muncul pada abad XI melalui pribadi Roscelin yang mempertalikan universalia dengan nama-nama semata. Pandangan Roscelin ini bertentangan dengan pandangan yang memperlihatkan suatu pemahaman akan arti-arti universal sebagai dasar dari semua nama universal. Kaum nominalis menegaskan bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah benda-benda individu dengan ciri-ciri individualnya. Konsep-konsep umum yang diciptakan oleh pikiran manusia sama sekali tidak berada secara independen dari benda-benda, bahkan konsep-konsep umum tersebut tidak mencerminkan ciri dan kualitas benda-benda. Pada masa itu, nominalisme berkaitan erat dengan kecondongan-kecondongan materialis yakni kecondongan yang mengakui bahwa benda-benda itu justru yang primer sedangkan konsep-konsep adalah yang sekunder.
        Selanjutnya, paham nominalisme berkembang pada Abad Pertengahan dengan mengajarkan bahwa nama-nama (Lat. Nomina) benda, meskipun berguna untuk membut klasifikasi, sebenarnya tidak dapat menggambarkan realitas. Setiap substansi dirasakan bersifat individual dan tidak ada kodrat yang umum.[2] Paham ini mempengaruhi ajaran teologi dalam Gereja, khususnya ajaran mengenai Allah, pembenaran iman dan sakramen.
            Munculnya paham ini merupakan sebuah perlawanan terhadap paham skolastisime yang merupakan suatu paham yang hendak menjawab secara sistematis problem Kristiani, tidak hanya mengenai dogma tetapi juga kehidupan yang lebih luas. Dalam pandangan ini, pandangan-pandangan universalisme cukup ditekankan. Nuansa pemikiran skolastik yang sangat spekulatif selama abad pertengahan tidak lantas diterima begitu saja oleh semua pihak tetapi justru memicu tokoh-tokoh yang memiliki pandangan sebaliknya untuk melawan dan membentuk paham baru.[3]
            William dari Ockham (1285-1347) adalah tokoh nominalisme yang paling terkenal. Ia adalah seorang Fransiskan dari Inggris yang mendapat gelar Doctor invincibilis et venerabilis inceptor.[4] Gelar venerabilis inceptor ini mengacu pada kenyataan bahwa ia tidak dapat melanjutkan karir akademiknya karena konflik dengan tahta suci tetapi memperoleh pemula dari Universias Oxford bachaloreat (inceptor), pemula, tanpa mencapai magister.[5] Ockham merupakan sosok besar yang menyebarluaskan dan mematangkan doktrin nominalisme. Pengaruh nominalisme menyebar ke bebergai universitas di Eropa sehingga memiliki dampak bagi Gereja pada masa itu.    
             
Dampak bagi Gereja
            Sebagai sebuah aliran pemikiran yang merupakan reduksi terhadap paham-paham yang bersifat universal, nominalisme menegaskan bahwa obyek pemikiran manusia hanya menjadi tanda-tanda kosong dan tidak berarti selain tinggal sebuah nama saja. Salah satu ungkapan yang cukup terkenal dari William Shakespeare ialah “What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet”[6]. Pandangan Shakespeare ini selaras dengan pemikiran para kaum nominalis pada abad pertengahan. Dalam pandangan Shakespeare, nama-nama benda dianggap tidak dapat menunjukkan kenyataan yang jauh lebih mempunyai esensi. Analoginya kurang lebih sebagai berikut. Seandainya saja sebuah bunga mawar itu diberi nama yang lain, esensi keindahan dan keharumannya tidak berkurang.
         Dari analogi tersebut, dapat dilihat kaitannya bahwa segala sesuatu yang dapat diperlihatkan dan secara rasional memiliki dasar-dasar yustifikasi sebenarnya tidak dapat diukur kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini juga berlaku dalam hal iman di mana iman itu sendiri dipertanyakan kebenaran rasionalnya. Selanjutnya, muncul sebuah penegasan pada kebebasan absolut Allah dan pewahyuan yang tidak dapat diverifikasikan. Akhirnya penegasan tersebut membawa  ke arah kebenaran ganda yakni sesuatu dapat dikenali sebagai hal yang benar oleh iman kendati bertentangan dengan akal budi. Dalam pandangan nominalisme, konsep-konsep dan realitas itu sama sekali terpisah. Konsekuensinya, tidak mungkin ada pengetahuan alami tentang Allah. Ockham memperlihatkan bahwa bukti-bukti yang umum tentang Allah bukanlah sebuah logika yang dapat dinalar secara rasional. Oleh sebab itu, Allah hanya dapat dipahami dengan iman.
               Pada awalnya, Gereja cukup mendukung adanya kesatuan antara iman dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pengaruh Ockham dengan paham nominalismenya sungguh mencengangkan Gereja karena mampu mengubah teologi menjadi filsafat yang mengarah pada pemisahan antara Allah dan ciptaan serta iman dan ilmu pengetahuan. Penyelenggaran Ilahi pun seakan-akan harus mengikuti kaidah-kaidah forma intelektual dan logis rekaan manusia. Pemisahan radikal antara Allah dan ciptaan serta iman dan ilmu pengetahuan merupakan penyebab pemisahan analogis antara Gereja dan dunia.

Pintu Masuk bagi Reformasi Gereja
          Dengan adanya pemisahan yang radikal antara iman dan ilmu pengetahuan, nominalisme menjadi semacam pintu masuk bagi reformasi Gereja, termasuk juga gerakan Protestantisme yang dipelopori oleh Martin Luther, seorang rahib Agustinian. Ilmu pengetahuan teologi mengalami masa kritis pada waktu munculnya paham nominalisme pada abad XIV dan XV. Krisis ini mempengaruhi stabilitas Gereja Katolik Roma dan akhirnya mendorong situasi sosio-religius yang lantas memberikan lahan subur bagi Matin Luther untuk memulai gerakan reformasi Gereja.
            Kritik awal Luther adalah kritik terhadap hal-hal praktik Gereja Katolik saat itu yang yang berciri kuantitatif, obyektif dan relatif ketika melihat relasi antara manusia dengan Allah. Pandangan Luther ini tentu saja menandaskan kutub lain dari Gereja Katolik, karena ia sendiri lebih cenderung menekankan subyektivitas dalam relasi personal-kualitatif.
            Menurut Luther, relasi personal-kualitatif inilah yang membawa orang pada keselamatan sebagai sesuatu yang dinantikan oleh setiap manusia.[7] Keselamatan tidak diperoleh melalui praktik-praktik kesucian yang dilakukannya, melainkan karena rahmat ilahi yang diberikan kepada manusia tanpa syarat. Pemikiran Luther yang sedemikian rupa sampai akhirnya membawa skisma dalam Gereja tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh paham nominalisme.
           
Kesimpulan
            Paham nominalisme muncul sebagai perlawanan dari paham skolastisisme yang hendak menggeneralisasikan apa saja menjadi konsep-konsep umum. Dalam paham ini, segala hal yang berkaitan dengan universalia dilawan karena dianggap tidak mempunyai esensi dibandingkan dengan keberadaan  benda itu sendiri. Paham ini dengan kata lain hendak mengatakan bahwa kemampuan rasional manusia tidak akan mampu memahami keilahian Allah. Oleh sebab itu, Allah harus dipahami dengan iman dan bukan dengan ilmu pengetahuan. Ternyata, paham ini berkembang pesat dan mempengaruhi teologi Gereja. Dampak langsung nominalisme bagi Gereja antara lain adanya separasi antara iman dan akal budi yang selanjutnya menjadi salah satu pengaruh munculnya reformasi Gereja yang dipelopori Martin Luther. Dengan demikian, paham nominalisme merupakan sebuah pintu masuk bagi reformasi Gereja, karena melalui paham inilah, muncul tokoh-tokoh yang hendak memperbaharui Gereja dari dalam.    

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Entri “Nominalisme”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,        1996.

Kristiyanto, Eddy. Reformasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004

Maulana Baruwarsa, Riki. Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah).         Jakarta: STF. Driyarkara, 2013.

O’Collins, Gerald dan G. Farrugia, Edward. Kamus Teologi, Entri “Nominalisme”.                     Yogyakarta: Kanisius, 1996.





[1] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, Yogyakarta: Kanisius, 2004,  hlm. 27.
[2] Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Entri “Nominalisme”. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 216.
[3] Riki Maulana Baruwarsa, Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah), Jakarta: STF. Driyarkara, 2013, hlm. 10.
[4] Doktor yang tak terkalahkan dan pencetus yang terhormat
[5] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam. Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 28.
[6] Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”
[7] Riki Maulana Baruwarsa,  Pengantar dan Metode Penelitian Teologi (Dalam Diktat Kuliah), Jakarta: STF. Driyarkara, 2013, hlm. 11.

2 comments: